Tuesday, 29 May 2018

Di Sampingku (Flash Fiction)

Aku menarik diriku dari keramain tersebut, aku seperti merasa butuh mencari udara segar. Balkon depan ini cukup sepi, hanya terdapat beberapa orang berbincang berdua-dua. Langit senja ini begitu indah untuk dilewati. Kusruput kopi arabika yang sedari tadi kugenggam, ku letakan sejenak, untuk menyalakan sebatang rokok kretek, sempurna.

"Di sini kamu rupanya." suara seorang wanita terdengar menyapaku, tampaklah dia sudah mengambil posisi di sebelahku. "Belum berhenti juga?" dia melanjutkan pembicaraan.

"Yah occasionally.." sambil kuhisap lagi rokokku.

"Lalu apa yang, kau lakukan menyendiri di sini?"

Hilang sudah ketenangan yang kucari itu. "Aku hanya mencari waktu untuk bersyukur akan semuanya, di hadapan cakrawala senja yang merona ini."

"Bersyukur?" tanyanya lagi.

"Ya, bersyukur, bersyukur akan karunia khalik yang diberikan-Nya padaku, berkumpul bersama, sehat, dan selamat seperti ini, adalah karunia yang jarang sekali bisa di dapatkan di dunia yang berlaju semakin cepat ini, seolah kita tak bisa berhenti sejenak, barang bersyukur." hangatnya kopi yang mengalir di kerongkonganku menguatkan ucapanku tersebut.

"Kamu, aku tak pernah barang sekali mengerti bahasamu itu, sudah jadi pujangga kamu?" aku tersenyum mendengar ucapannya itu. "Lalu tuan pujangga ini, masih sendiri sajakah dia?" dia meneruskan.

"Takut, tak sempat."

"Apa yang kau takutkan, tak adakah barang 1 gadispun dalam pikiranmu itu?" aku merasa pandangannya seolah di rapatkan sekali padaku. Aku tak kuasa melawan pandangan itu, seolah pandangan itu menyibak tirai yang tertutup dalam kalbu, "Ada, gadis, dia sudah ku kenal sejak lama."

"Jadi, siapa gadis yang ada dipikiran tuan pujangga ini, mudah bukan kau sedah kenal dia sejak lama?" dia menatapku seolah siap menampung semua kalimat yang hendak kuucupkan. Kali ini ku sruput kopiku agak banyak, untuk sedikit membasuh kerongkongan.

"Kamu tahu, Tuhan selalu memberi kita perkara mudah sebelum perkara yang sulit. Menjaga dan bersyukur akan apa yang aku sudah miliki, merupakan 1 dari banyak perkara itu." Kuhisap rokokku sejenak lalu kuteruskan, "Tuhan mengkaruniakan bagiku seorang sahabat tersebut, sahabat yang baik elok hati dan rupanya, klo aku tak dapat menjaga karunianya tersebut, bagaimana aku berharap akan yang lebih."

"Jadi kamu takut, akan perasaanmu sendiri, merusak persahabatan itu?"

"Ya, aku takut, amat takut. Kamu pun tahu bagaimana kisahku selama ini bukan, setiap kali rasa itu gagal, jangankan kembali bersahabat, mengingat namapun terasa sulit, bukan kah itu artinya aku telah merusak karunia yang diberikan-Nya, karena aku meminta lebih dari yang kudapat?"

"Bukankah juga ada petuah yang bilang, siapa tahu dalam hati seorang, bila belum kau selami?"

"Mungkin, mungkin memang aku yang terlalu dilemahkan rasa takutku, takut akan terluka, atau tenggelam dalam kesedihan, aku takut kehilangannya, bagiku saat ini, bisa berada bersamanya dan melihatnya bahagia saja sudah cukup, bisa membuatnya tersenyum saja sudah jadi kebahagiaan sendiri bagiku, payah sekali aku bukan?" aku memaksakan diri untuk tersenyum, akan kepahitan terhadap diriku sendiri, pahit kopi pun tak mampu mengalahkan. Aku buang rokok yang nampaknya sudah habis ini.

"Apa yang menarik padanya, yang membuatmu seperti ini?"

"Awalnya, aku biasa saja, aku merasa dia gadis cantik seperti biasa, tak ada rasa, lalu seiring berjalannya waktu, kebersamaan membuatku mengenalnya lebih dari parasnya saja. Entah kenapa, ucapannya selalu saja pas di telingaku di saat aku terjatuh, di saat aku bingung, dan kesulitan, dia ada dan mau mendengarkan. Namun aku masih terheran, dengan para pria yang berkesempatan mengisi tempat spesial di hatinya, malah meninggalkannya. Sungguh ingin sekali aku hajar mereka, betapa bodohnya mereka meninggalkan gadis sepertinya." Aku benar-benar tak bisa menahan emosiku mengingat kejadian-kejadian tersebut.

"Bukankah berarti dia pantas untuk kau perjuangkan? Pantas untuk kau selami, berapa dalampun hatinya itu?" kudengar suaranya semakin perlahan, mengiba mungkin.

"Ingin jika aku bisa, namun bayangan akan tak kutemukan diriku dalam lautan tersebut, membuat nyaliku menciut menjadi sebesar biji sesawi, aku tak pernah merasa selemah ini, payah, mengecewakan, bukan sosok pria sejati pada umumnya." langit senja teramat hangat untuk melelehkan air mata yang dari tadi bertumpuk di hati, namun aku masih mencoba untuk menahannya.

"Lalu, bagaimana jika kubilang, selama ini dia barang sekali pernah merindukanmu, merindukan candaanmu, keluh kesahmu, kehadiranmu, namun dia terlalu takut untuk mengakui hal tersebut dan berlindung dibalik egonya?" Kali ini aku mendengar kegelisahan dalam nada bicaranya. Pandangannya padaku semakin dalam, seolah berusaha memberiku keberanian, pandangan welas asih, dari seorang sahabat untuk sahabatnya yang payah ini, seolah memohon dirinya untuk ditemukan. Kuhabiskan kopiku, kusiapkan batinku akan apa yang hendak kuucapkan selanjutnya.

"Jika.., Jika dia, barang sekali pernah berpikir tentang diriku.., Dia pastilah ada di sampingku saat ini."

Sekejap pula dia memelukku erat, seolah telah menemukan apa yang dicarinya selama ini, aku membalas pelukan tersebut dengan tak kalah eratnya. Aku menengok sejenak ke arah cakrawala senja yang merah merona, Ya Khalik, adakah Engkau hentikan waktu barang sejenak, aku akan menjaganya, karunia terbesarMu untuk hambaMu yang kecil ini.


No comments:

Post a Comment