Wednesday, 13 February 2013

Sebuah Liburan Sejuta Cerita "Lawu" w/ PRMK-FT UNDIP

Pagi itu, 5 februari 2013, seperti biasa aku bangun langsung meraih hpku, mencoba mencari sesuatu yang baru di jejaring sosial twitter, fb, dan what's up. Hingga tiba-tiba aku melihat setengah heran, ada nama mas Tio di What's Up, seniorku di PRMK-FT, kucoba test dengan menyapanya; "wah, mas saiki koe dolanan What's Up tho.?"; tiba-tiba dia membalas, "Dolanan opo va? iki dudu dolanan ogh.". Wah ternyata memang mas Tio, lalu aku teringat kalau sebentar lagi mereka akan naik gunung Lawu, dan aku juga ingat "dia" kayaknya juga mau ikut, tapi aku kurang tau jadi atau gak.
Lalu aku mulai iseng bertanya, "Mas, yen munggah gunung butuh skill-skill khusus ra?"
mas Tio mbales; "Mesti iso jurus seribu bayangan.. Ora lah, piye? melu wae yo va?"
Aku, "Wah aku sih amateur ki mas, emange ra masalah yo?"
Tio, "Rak po va, ini isinya amateur semua juga lho, kalo masalah apa-apa aja yang dibawanya, besok dateng aja ke technical meeting di rumah, ya jam 7 malam."
Aku, "Wah kelihatannya menarik mas, oke deh besok tak ke beskem."

Setelah percakapan itu, tiba-tiba berbagai perasaan menghinggapiku, mulai resah, cemas, senang, penasaran, dan semangat tercampur aduk. Mulai dari aku bingung, bagaimana dengan perlengkapannya, ijin ke bapak sama ibunya, fisikku yang sudah siap atau belum, dan terlebih lagi ngebayangin gimana bokernya disana, cuman dilap tisu (yikes...). Terus aku berpikir, tinggi gunung lawu 3265 Mdpl, tinggi awal pendakian 1900 Mdpl, wah pas banget pikirku. Pas banget sama IP semester ini 1,95. Lalu aku membuat tekat, kalau aku gak bisa sampe puncak berarti aku gak kan pernah bisa dapet IP 3. Keesokan malamnya kami mengadakan Tech Meet di rumah tercinta. Aku mendengarkan secara seksama setiap detil tugas serta perlengkapan yang mesti dibawa. Melihat banyaknya barang yang harus dibawa, aku sempat bingung apakah nanti aku bakal kuat bawanya. Semalaman setelah Tech Meet itu aku tidak bisa tidur, cemas dan gelisah hinggap dibenakku, bahkan muncul perasaan untuk berhenti. Tapi semua itu kalah ketika aku mengingat kembali tekadku, meskipun tekadku sempat luntur karena tahu ternyata dia gak ikut. Tapi kegalauanku gak cuman disitu, selama beberapa hari sebelumnya, aku sempat berpikir sepertinya aku dijauhi temen-temenku pewartaan yang di twitter. Mereka berencana jalan-jalan tapi gak ngajak aku, padahal aku juga masih di semarang. Aku pun bercerita ke Tito, tepatnya keesokan paginya waktu kami sedang berenang di siwarak. Di sana lalu aku menceritakan semuanya pada Tito, Tito cuma menjawab, "Gak usah negatif thinking dulu va, kalo emang kamu dijauhin yo tak kancani, hehe." mendengar jawaban Tito tersebut aku menjadi sedikit lega. Lalu kami berenang selama kurang lebih 2 jam. Lalu kami makan di sebuah rumah makan steak di ungaran, di sana aku bertanya pada Tito jika dia punya kenalan yang suka naik gunung, tapi ternyata Tito cuman tahu Wisnu. Lalu aku coba bertanya pada Wisnu tapi sayang tasnya mau dipakai. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli peralatan pendakian tersebut sendiri. Setelah bertanya-tanya pada teman-temanku yang sering naik gunung, akhirnya aku memutuskan untuk berbelanja di REI. Mulai dari tas gunung sampai sleeping bag aku beli di sana, dengan duit tabunganku sendiri. Saking semangatnya secara tidak sadar aku sudah berkemas dan langsung berangkat ke beskem. Hingga akhirnya mas Ionk setengah heran dan tertawa,
"Va, kamu mau naik gunung sekarang? Orang berangkatnya kan masih besok."
Aku lalu teringat kalau sekarang masih tanggal 7 Februari, sial pikirku, lalu aku mengeluarkan teknik ngelesku yang terkenal itu,
"Aku cuman mau nitip tas kok mas, soalnya ini aku mau ke salatiga dulu habis ini ngambil barang yang ketinggalan, biar besok bisa langsung siap aja."
Dengan setengah malu aku melangkah masuk ke beskem dan meminta izin pada Arda untuk menitip tas di sana.

Malamnya aku pulang ke kos (gak ke salatiga :D), di dalam kamar aku memikirkan banyak hal, mulai dari yang penting sampe gak penting, malam itu seolah-olah aku merasa berbagai macam hal dan pikiran melintas di kepalaku, "Gak ada jalan untuk mundur lagi pikirku." aku jadi teringat kepada kata-kata pak Taufik seorang satpam Teknik Sipil yang mampu membaca sifat seseorang, kalau aku orangnya kurang percaya diri. Akhirnya aku memasukan semua hal-hal dan pikiran positif, hingga akhirnya aku tidur.
Pagi itu 8 Februari, aku coba pemanasan kecil dengan berjogging pagi, melintasi kampus tercinta. Siangnya aku membeli beberapa bekal yang akan aku bawa nanti. Lalu aku menghabiskan waktu di beskem, menunggu datangnya sore hari. Akhirnya pada pukul 17.00 hampir semua anggota berkumpul hanya kurang 1 orang lagi, ya itu mbak mardi, ternyata dia jadi ikut, dan keberangkatan kami tertunda selama 30 menit. Setibanya mbak mardi, kami pun berangkat dengan diantar oleh mas Martin, dan dilepas oleh pak Chris dan Achan. Sampai di terminal bayangan sukun kami langsung mendapatkan bus umum yang menuju solo, kami bergegas menaikinya. Dalam perjalanan kami saling bercerita satu sama lainnya, dan mas Rio sedang melobi travel yang akan kami gunakan ke-esokan harinya. Akhirnya kami tiba di Solo, kami turun di depan Ursula, dan di sana sudah menunggu Mas Tio, Mas Vincent, Mas Ananto, dan Mas Marcel. Terjadi hal yang luar biasa mengharukan di sana, di mana akhirnya Mbak Gorry dapet berjumpa dengan pasangannya sesama kabid Liturgi yaitu Mas Ananto, yang memang pindah dari Undip. Selanjutnya kami pergi makan malam ke tempat yang di rekomendasikan mas Tio. Kami tiba di sebuah warung Nasi Goreng, dan yang lucu dari warung Nasi Goreng itu adalah tulisannya 100% Halal, tapi ternyata ada daging babinya juga. Entah apa yang merasuki orang-orang di sana, mas Valen, mas Ionk, GB, dan Ryan makan kayak orang kerasukan setan, bayangin aja 1 porsi yang udah banyak kayak gitu masih kurang. Lalu ada kejadian sedikit konyol bin gatel juga di situ, gini ceritanya. Waktu itu mas Tio baru aja selesai makan, terus dia ngeliat Ionk yang lagi megang gelas isinya Es Teh banyak.
"Ionk, minta es teh mu dong."
"Iki, ti, enteke wae." jawab mas Ionk seraya menyerahkan gelas es Teh tersebut.
Dengan semangat mas Tio meminum habis es Teh tersebut, lalu mas Ionk pun mulai bercerita pada mas Tio.
"Ti, koe ngerti ra, mau aku pesen air es, iso dadi es Teh, piye carane jal." jawab mas Ionk seraya melirik, ke arah kumpulan gelas kosong di depannya.
"Wah, tenan Ionk, wah parah koe ndes." jawab mas Tio dengan perasaan menyesal, dan jijik.
Lalu kami pun beranjak dari tempat tersebut dan mulai menuju rumah mas Tio, di mana kami akan menginap di sana, sebelum besoknya pergi naik ke Lawu.
Sampai di rumah mas Tio, kami melakukan packing ulang, dan men-check kembali perlengkapan apa saja yang harus di bawa dan di tinggal. Setelah packing ulang dan check sudah selesai, kami berkumpul sejenak di ruang keluarga mas Tio, sementara mas Ionk mengajak yang lain untuk membuat tulisan selamat ultah untuk mbak Dian dan juga titipan selamat anivv buat mas Ari dan mbak Arin, lalu hal konyol pun dilakuin Arda, dia keluar rumah untuk berlari dengan alasan manasin mesin. Tidak kuat menahan kantuk, dan ingin menenangkan pikiran akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke kamar dan tidur.
Pagi hari pun tiba, aku bangun karena merasa sudah cukup segar, kulihat keluar jendela, awan putih yang berarak, langit yang cerah, udara segar dan angin semilir yang menenangkan hati, cocok sekali untuk mengawali pagi ini. Kami di hidangkan sarapan buatan ibunya mas Tio, sambil sarapan kami mengumpulkan tas Carrier kami, dan mengadakan briefing singkat. Akhirnya travel yang akan mengantar kami tiba, lalu kami berkumpul dan berdoa, setelah itu kami mulai mengangkut semua tas carrier ke atas travel, ternyata travel itu hanya mobil colt biasa, dan kami bertanya-tanya gimana caranya 19 orang masuk ke mobil seperti itu, sementara kami ber 14 aja sudah lumayan nge pas. Lalu kami semua mulai menaiki travel, dan perjalanan kami menuju lawu pun dimulai.
Kami berangkat dari rumah mas Tio sekitar pukul 07.30, selama perjalanan kami bercerita tentang tempat-tempat unik di sekitar Solo, mulai dari kota yang bersebrangan, makamnya bu Tien, sama makamnya pak Harto, dan mas valz yang merekam kegiatan kami di dalam mobil. Berjalan melintasi hamparan sawah yang hijau dan udara segar bin sejuk kaliurang, seolah menghipnotisku sejenak, melupakan semua pikiran yang mengganggu selama ini. Setelah kurang lebih perjalanan 1 1/2 jam, kami tiba di Pos Cemara Sewu. Di sana ada beberapa pendaki lain yang sepertinya juga akan berangkat. Melihat jalan yang ada di cemara sewu dari depan gerbang membuatku berpikir sejenak, "Apa aku bisa, melalui ini semua?"
Kami memutuskan untuk makan dulu sebelum masuk ke cemara sewu. Dan di situ adalah saat terakhir aku menggunakan Handphone, karena sinyal yang terbatas setelah nge-tweet dan update status, aku memutuskan untuk menyimpah Handphone ke dalam tas. Setelah foto-foto, regristasi dan pemanasan kami berangkat.
Kami berangkat pukul 10.25, jalanan awal ternyata sudah nge-track banget alias tanjakannya tajem banget. Selama mendaki Lawu kami tidak diperbolehkan sombong, mengambil apapun, menggunakan kain bermotif (lupa), dan mengganggu burung jalak. Karena jalanan yang nge-track abis, kami sangat sering beristarahat, bahkan sebelum sampai pos 1 saja kami sudah lumayan sering beristirahat. Tapi semangatku untuk sampai puncak seolah-olah membuatku mengabaikan rasa capek yang memang luar biasa. Mas Ionk mulai terlihat kelelahan di awal-awal pendakian ini. Mas Ionk pergi ke sini dengan tujuan memberikan kado Ultah untuk mbak Dian, yaitu berupa Video tentang omongan-omongan gak jelas dari mas Ionk, setiap kali kami berhenti mas Ionk selalu membuat Video tersebut. Dengan dorongan semangat dan obrolan yang menyenangkan akhirnya kami tiba di pos 1. Pos 1 cemara sewu ini sangat kotor, tetapi di sana ada warung makan. Istirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan. Jalan yang kami lalui terus saja menanjak terjal, jarang sekali kami melewati jalan yang landai, meskipun beberapa kali kami melewati daerah terbuka yang lumayan indah. Kami tiba di pos 2 setelah berjalan cukup lama, cuaca perlahan mulai berkabut dan terlihat awan mendung dari atas. Kami melanjutkan perjalanan menanjak kami, hingga akhirnya tak berapa lama hujan mengguyur dengan cukup deras. Aku memakai jas hujanku dengan segera, berjalan menanjak dalam kondisi hujan ternyata tidak mudah, selain udara yang dingin, ternyata jas hujanku pun rusak, sehingga aku basah kuyup. Terus berjalan dengan mengabaikan rasa lelah dan dingin, kami pun tiba di pos 3. Kami memutuskan untuk beristirahat di sana dengan membuat bifak. Dengan bergotong royong, kami menghubungkan jas hujan satu dengan yang lain, sehingga bifak kami dapat berdiri dan kami pun berteduh di dalamnya. Meskipun sudah berteduh di dalamnya, ternyata tetap tidak menghilangkan rasa dingin yang mulai merayap di tubuh ini, aku tidak bisa menghentikan kedua tanganku yang menggigil sehingga aku menggesekan ke dua tanganku supaya hangat. Sambil melepas lelah dan menunggu hujan reda, kami memutuskan untuk memasak mie instan, dengan menggunakan kompor portable, misting dan air hujan kami memasak mie tersebut. Setelah mie masak ternyata kami lupa membawa alat untuk memakannya hingga akhirnya bang Gabriel (GB) membuat sumpit alami dari ranting pohon.
Setelah selesai makan dan hujan sudah reda, kami memutuskan untuk membongkar bifak dan melanjutkan perjalanan. Sebelum berjalan aku memutuskan untuk mengganti bajuku terlebih dahulu karena baju yang kupakai sudah sangat basah, aku pun mulai mengeluarkan jaket, sarung tangan, kupluk, dan baju hangatku, karena ternyata cuaca sudah mulai dingin karena kami sudah dekat dengan puncak dan hari sudah mulai sore. Perjalanan kali ini ternyata semakin berat dengan tenaga sisa dan jalan menanjak yang semakin terjal, satu per satu dari kami mulai mengalami kelelahan. Kami mulai mengingatkan satu dengan yang lain akan tujuan kita pergi ke sana, satu hal yang memotivasiku adalah kami berangkat dari ketinggian 1900 dan akan sampai di puncak dengan ketinggian 3265 mdpl, IP semester ini 1,9 dan aku punya "taruhan" tidak akan pulang sebelum dapet IP 3, makanya kalau aku gak bisa naik sampai ke atas, mungkin aku akan menyerah mendapatkan IP 3 tersebut, dan yang lainnya adalah aku tahu banyak teman-temanku yang ingin ikut dalam pendakian ini, tetapi mereka tidak di izinkan oleh orang tua mereka, dan aku yang sudah mendapat izin ini jangan sampai mengecewakan mereka yang gak bisa ikut itu dengan menyerah menuju ke puncak gunung lawu.
Di tengah rasa lelah yang semakin terasa karena kita sudah berjalan kurang lebih 7 jam lamanya, kami dihibur dengan pemandangan Sunset dari pinggir gunung, dimana kami dapat melihat dengan jelas proses matahari yang perlahan-lahan mulai tenggelam. Rasa hangat yang seolah memberikan kami semangat tambahan dan gradien warna yang menunjukan keindahan, membuat rasa lelah kami sedikit berkurang. Kami lalu melanjutkan perjalanan, dan keadaan semakin gelap. Kami mengeluarkan semua perlengkapan penerangan yang kami bawa. Setelah berjalan tidak cukup lama, kami tiba di Pos 4, dalam keadaan yang cukup gelap, kami beristirahat lagi dan membuat beberapa minuman hangat, untuk sekedar menyegarkan fisik kembali. Setelah beristirahat sejenak kami melanjutkan perjalanan jam menunjukan pukul 7 lebih 15 dan kami masih belum juga tiba di pos 5. Kabut yang semakin tebal, membuat perjalanan kami agak melambat. Melintasi bibir gunung dengan edelweis di kanan-kiri, membuat perjalanan cukup menarik untuk dilalui, dari sana kami dapat melihat cahaya-cahaya dari lampu kota yang ada di bawah kami, belum lagi ada yang memainkan kembang api, di mana biasanya aku harus menengadah ke langit untuk melihatnya sekarang aku malah harus menunduk ke bawah.
Sekitar jam 8 malam kami akhirnya tiba di pos 5. Kami bingung karena tidak banyak penunjuk jalan yang dapat kami temukan di sana. Bermodalkan peta dari Handphone mas Rio, kami melanjutkan perjalanan, tak selang berapa lama kami tiba di Sendang Drajat, sebuah mata air, dan tak perlu ditanya lagi airnya sangatlah dingin. Akhirnya di sana kami bertemu dengan pendaki-pendaki lain, kebanyakan dari mereka sudah mendirikan tenda di sana. Kami mencoba mencari info tentang arah menuju Mbok Yem, karena kami memang berencana untuk membangun camp di sana. Tapi ternyata tidak banyak info yang kami dapat, akhirnya kami mencoba untuk mencari jalan sendiri, hingga akhirnya jalan terlihat bercabang. Setelah beberapa rekan kami mencoba mencari jalan, akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti jalur yang kanan, karena presepsi kami saat itu yang kiri mengarah ke jalan buntu. Namun tiba-tiba kabut menjadi sangat tebal, dan karena merasa cukup berbahaya, kami memutuskan untuk kembali dan membangun camp di sendang drajat.
Setelah camp didirikan, aku bersama mas Ionk, mas Rio dan mbak Ayu, memilih pergi ke warung yang berada tak jauh dari camp kami. Aku memesan mie rebus dobel dan teh hangat.  Menunggu di dalam ruangan warung itupun dingin masih saja terasa. Selain rasa dingin kami juga harus bergulat dengan asap dari kompor, karena ruangannya sangat tertutup sehingga asap memenuhi ruangan tersebut. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya pesanan kami tiba, melihat asap yang mengepul dari mie tersebut menjanjikan kehangatan yang akan dapat langsung kurasakan masuk ke dalam tubuhku yang ke dinginan ini. Tapi semua itu ternyata ilusi, setibanya di tanganku tak kurasakan lagi panas dari mie tersebut, asap yang mengepul tadi pun sudah hilang, akhirnya hanya mie biasa yang harus dinikmati. Namun karena suasana perut sudah sangat lapar hal itupun tak jadi masalah, aku sikat saja mie dihadapanku itu dengan lahap. Selesai makan aku memutuskan kembali ke camp, 1 camp rencananya di isi 6 orang, aku dapat 1 camp dengan bang GB, arda, vincent dan orang lain yang belum sempat kulihat wajahnya karena sudah cukup lelah dan mengantuk, aku tertidur lebih dahulu. Bermodalkan sleeping bag Rei -merk samaran- yang baru saja kubeli sebelum mendaki, awalnya akan ku gunakan sebagai matras, tapi ternyata dinginnya udara membuatku merubahnya menjadi selimut besar, karena arda juga merasa kedinginan saat itu. Awalnya semua berlangsung biasa saja, aku bisa tidur dengan nyaman dan hangat, hingga saat malam menjelang subuh tiba, mas vincent dengan se-enaknya menarik sleeping bag yang menutupi badanku, akhirnya tarik-menarik sleeping bag antara aku dan mas Vincent pun tak terelakan lagi. Perebutan berlangsung cukup sengit dan lama, namun karena sudah sangat lelah aku melepaskan kemenangan yang sudah ada di depan mata kepada mas Vincent. Penderitaan tak hanya sampai di situ, selain berjuang melawan rasa dingin, setelah satu-satunya selimut yang kugunakan kuberikan pada mas Vincent, camp sebelah yang jaraknya memang berdempetan gak kalah berisik, belom lagi aksi tendang-tendangan tak bertanggung jawab yang sampai kerasa ke camp sebelah, selain itu dari luar juga seperti terdengar suara orang berteriak-teriak, aku pikir aku sedang bermimpi tentang kaderisasi yang ada di kampusku, membuatku menikmati malam terpanjang yang pernah kurasakan dalam hidupku.
Setelah berjuang melalui malam, akhirnya pagipun tiba, kami dijadwalkan jam 4 sudah bangun dan siap untuk menikmati Sun rise dari puncak, Ryan dan Mas Tio pun membangunkan yang lain, tapi sepertinya usaha mereka sia-sia, sementara aku yang sudah muak berdiam di dalam tendapun memutuskan keluar, dan sepertinya semalaman mas Tio dan Ryan tidur di dalam gua kecil yang ada di dekat camp kami, aku pun masuk dalam gua tersebut, dan ternyata gua ini jauh lebih hangat dibanding di dalam tenda. Sambil menunggu yang lain terbangun aku memutuskan melanjutkan tidurku di goa tersebut, baru 1 jam tertidur akhirnya semua sudah bangun, karena dirasa untuk mengejar sun rise di puncak sudah cukup terlambat, kami memutuskan untuk menantikan sun rise dari tempat kami berada sambil merapikan perlengkapan dan menyiapkan sarapan. Tak berapa lama menjelang mataharipun menampakan diri dengan indahnya, sungguh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan, aku pernah melihat sun rise dari beberapa tempat indah seperti borobudur, sanur beach, dan masih banyak lagi, tapi tak ada yang seindah dan seanggun ini, aku bisa merasakan langsung dari dekat pancaran hangatnya yang merasuk ke hati, menyegarkan badanku yang lelah, melegakan perasaan yang galau tak jelas, semuanya terasa ringan, perasaan senang, dan hangat membuatku melupakan segala persoalanku selama ini, dan memberi sebuah semangat baru. Setelah puas foto-foto dan menikmati mentari pagi, kami pun bersarapan. Saat sedang sarapan aku ingat kalau bajuku ada yang basah, karena matahari sepertinya sudah cukup panas, aku memutuskan untuk menjemur bajuku sejenak di atas kabel yang melintang dari sebuah camp ke warung tempat kami makan tadi. Tapi secara tak terduga ternyata beratnya bajuku membuat sambungan kabel itu putus. Terkejut akan hal tersebut, aku dengan tergesa-gesa menyambungkan kembali kabel yang putus itu, ternyata dari awal kabel tersebut memang sudah putus dan hanya dihubungkan dengan sebuah isolasi.
Setelah semua siap, kami pun melakukan pemanasan untuk melanjutkan perjalan sampai ke puncak. Awalnya kami bingung antara akan langsung ke puncak dengan membawa tas atau menitipkannya, tapi karena faktor keamanaan kami memutuskan untuk membawa tas kami sampai ke puncak. Ternyata perjalanan menuju puncak sangat luar biasa gila. Jalannya menanjak dengan sangat terjal, melewati semak-semak, dan jalan setapak yang hanya bisa dilalui perlahan dan sebaris. Mungkin karena baru saja beristirahat rute tersebut berhasil kami lalui hingga akhirnya kami tiba di puncak lawu yang bernama Hargo dumilah 3265 mdpl.
Di sana kami tak sendirian, kami ditemani rombongan pencinta alam, yang datang untuk membersihkan tugu penanda ketinggian yang dicoret-coret oleh tangan tak bertanggung jawab. Melihat mereka melakukan hal itu aku jadi sadar, kalau masih banyak orang-orang seperti mereka yang masih peduli akan keadaan alam Indonesia. Menikmati pemandangan dari tempat setinggi ini belum pernah kurasakan sebelumnya, puas rasanya bisa melihat awan dari atas dan dekat dengan langit yang warnanya tampak biru, jika harus memikirkan kembali semua usaha yang aku butuhkan untuk dapat mencapai tempat ini, sepertinya semua terbayarkan. Setelah bersantai dan menikmati pemandangan, mengambil beberapa foto, serta membuat ucapan selamat, kami pun bersiap-siap untuk turun, sebelum berpisah dengan puncak lawu, kami berbaris dan dengan serentak menyanyikan lagu "Indonesia Raya", sebuah lagu yang sudah lama tak kunyanyikan, bernyanyi bersama dengan mereka membuatku mengingat kembali, aku tak sendiri di sini, banyak hal sulit terasa ringan saat bersama mereka, dengan menyanyikan lagu tersebut aku membulatkan tekadku, aku akan berhenti lari lagi dari masalah, tak peduli apa yang bisa kulakukan untuk mereka, tapi yang jelas aku akan selalu ada bagi mereka baik saat susah maupun senang. Aku memang sempat merasa ingin berhenti dari kepengurusan karena aku merasa banyak kesalahan yang sudah kubuat di sini dan aku tidak memberikan apapun selama kepengurusan yang lalu bagi mereka, sementara aku sudah banyak berkembang semua berkat mereka. Tapi aku tak bisa memalingkan badanku begitu saja dari keluarga, seperti halnya mendaki gunung ini, gak peduli seperti apa kemampuanmu, ingatlah keluarga mu ada disekitarmu siap mebantumu dan aku juga selalu ada untuk membantu mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan yang aku miliki.
Akhirnya kami turun, perjalanan turun sangatlah menarik, tracknya tak terlalu sulit, melintasi jalan setapak di tengah padang rumput dan semak, hingga akhirnya tiba di tanah yang lapang. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya kami tiba di warung Mbok Yem. Warung tertinggi di tanah jawa atau mungkin Indonesia. Kami singgah sejenak untuk mengisi kembali energi dan perut kami yang mulai lapar.


Sambil melepas lelah di warung Mbok Yem, tercetus sebuah candaan gatel dari mulut mas Ionk, "Aku gak mau ah naik kereta gantung, entar hubungannya digantungin lagi.", perkataan itu seperti petir disiang bolong bagiku, yang membuatku berpikir sejenak, masa iya aku ngegantungin dia, orang deket banget juga enggak, dan dilihat dari sudut manapun juga aku yang naksir dia bukan sebaliknya. Sempat tersengat sejenak akhirnya aku cuma bisa tersenyum mendengar ucapan itu. Setelah puas beristirahat kami hendak melanjutkan perjalanan pulang, namun tanpa diduga terjadi adegan "FTV" banget, dimana tas gori tertukar dengan tas pendaki lain -setdah- keadaan sempat menjadi sedikit kisruh, setelah mencoba berpikir dengan tenang, akhirnya kami memutuskan untuk tetap turun menggunakan rute cemara kandang dan tidak mengejar pendaki lain yang juga akan turun tetapi melalui cemara sewu. Perjalanan berlanjut, berbeda dengan cemara sewu, medan di cemara kandang cukup landai dan sangat mudah untuk dilalui. Kami juga menyempatkan diri untuk memunguti sampah yang ada disepanjang perjalanan dan memasukannya ke dalam trash bag. Panorama alam yang indah terhampar di setiap sudut mata memandang, di perjalanan kami berpapasan dengan turis asing yang menunggangi kuda -ihwaw, lewat mana tuh-. Terjadi kejadian unik lagi di pos 4 kurang lebih, kami melihat coret-coretan de brito di sebuah batu besar, mas Tio dengan sigapnya langsung berusaha untuk menghapusnya, apa daya usahanya tidak berhasil. Perjalanan mulai menurun dengan curam, akan tetapi karena jalurnya yang zig-zag hal itu tidak terlalu berarti akan tetapi panjangnya rute yang ditempuh semakin bertambah, hal ini diperberat dengan hujan yang turun cukup deras. Untuk menghibur diri kami melakukan permainan critbungtata tapi dengan lagu. Setelah cukup lama berjalan, kami baru sadar kalau kami sore hari harus sudah tiba di bawah karena kami sudah membuat janji dengan angkutan jemputan kami akan tiba sekitar pukul 4 sore, akan tetapi jam sudah menunjukan pukul 3 sore dan rute yang akan kami lalui tampaknya masih sangat jauh. Kami berusaha untuk mendapatkan sinyal hp, agar dapat mengontak jemputan kami, setelah dapat kami meminta dia untuk menunggu kurang lebih hingga pukul 7 malam, selain itu kami juga mencoba mengontak penjaga cemara sewu supaya jika ada pendaki yang merasa tasnya tertukar untuk meninggalkan nomer telepon yang bisa dihubungi. Kami pun semakin turun dan mulai memasuki daerah-daerah bekas hutan terbakar. Ketika jam menunjukan pukul 5 kami tak kunjung tiba di pos 2, kekhawatiran mulai merasuki kami, tapi kami tetap berpikiran positif dan terus maju. Hingga akhirnya hari mulai gelap sementara rombongan mulai terbagi antara yang cepat dan lambat, saat kami bersiap-siap mengambil pencahayaan mereka yang di depan tiba-tiba memutuskan untuk berangkat duluan, yang langsung membuatku dejavu, akan satu hal dan mendorongku untuk mengejar, tapi karena kurang hati-hati, aku terpeleset dan membuat lututku sepertinya agak kram dan sakit hingga tak bisa ditekuk, sambil tertatih-tatih aku berjalan dituntun oleh arda yang kembali menolongku, ternyata tak lama berselang kami tiba di pos 1, padahal kalau menurut penuturan mas marcel di pos 1 itu harusnya ramai dan ada warungnya akan tetapi pos ini sepi sekali tak ada satu orang pun. Setelah rombongan terkumpul semua disitu kami istirahat dan memakan cemilan yang masih ada. Dalam gelap malam yang lebih pekat dari cemara sewu dan rute yang licin membuat perjalanan dari pos 1 ke beskem menjadi sangat sulit, satu per satu dari kami mulai mengalami keletihan yang luar biasa, mulai dari mas Ionk, Rio, Valent, dan aku sendiri. Semakin berjalaan terus ke bawah kami semakin sering menemukan jalan bercabang, yang bahkan membuat mas marcel yang pernah ke sini pun jadi ragu dalam menentukan arah. Tak berapa lama kami berjalan aku melihat ada banyak cahaya di depan, kupikir itu adalah beskem akan tetapi lama kelamaan cahaya itu mulai menjauh dan hilang. Malam semakin larut jam menunjukan pukul setengah sembilan, hingga akhirnya kami tiba disebuah percabangan lagi, dan tak ada satu orangpun yang tahu mana yang harus dipilih. Ditengah kebingungan mas Tio pun memberanikan diri untuk mengecek rute tersebut. Kami menunggu Tio cukup lama hingga akhirnya GB pun ikut mengejar dengan mencoba rute yang satunya. Mereka berdua menghilang cukup lama hingga mas Ananto berniat untuk mencoba menyusul mereka, namun usaha mas Ananto dilarang oleh Mas Rio dan Mas Valent yang menurutnya kita jangan terlalu banyak mencar. Sambil menunggu dan melawan rasa sakit otot-otot yang mulai kram, serta udara dingin yang menusuk tulang kami memutuskan berdoa rosario. Saking tidak kuatnya menahan semua rasa sakit dan dingin itu beberapa kali aku hampir jatuh tertidur, tapi berkat panggilan yang lain aku masih bisa terjaga. Selama berdoa aku selalu merasa kalau ryan ada dibelakangku, akan tetapi ketika rosario jatuh kebagian ryan ternyata aku baru sadar kalau ternyata yang paling belakang itu aku, karena ryan berada di depan. Aku tak berani menoleh ke belakang dan terus berdoa. Selama berdoa aku selalu memikirkan kedua orang tuaku, karena mereka sudah mempercayakan aku untuk ikut dalam mendaki gunung ini dan aku tak mau mengecewakan mereka dengan tidak bisa pulang, aku juga memikirkannya dan merasa kalau selama ini aku sudah salah, aku mengungkapkan perasaanku dengan cara yang salah, apa yang sudah kulakukan malah akan membuatnya tidak nyaman, aku merasa bodoh dan berjanji kalau aku udah turun nanti aku akan meminta maaf kepadanya, karena aku sadar kalau selama ini aku sudah egois dengan hanya memikirkan diriku sendiri dan memikirkan efek dari tindakanku kepadanya, yang membuatnya jadi ikut terseret dalam guyonan orang-orang tua ini. Tak lama ketika kami tengah berdoa aku mendengar suara seperti langkah kaki mendekat, kupikir itu tadinya ada Tio dan GB namun ketika doa selesai aku baru sadar ternyata mereka belum kembali. Kami menunggu cukup lama hingga akhirnya kedua orang itu kembali dan membawa berita menyenangkan. Ya, jaraknya tidak cukup jauh dan jam sudah menunjukan pukul 10 malam, kalau kita cepat kita bisa tiba tepat pukul 11. Bermodalkan semangat yang sudah kukumpalkan saat berdoa tadi, serta pertolongan dari keluarga-keluargaku ini, kami berhasil tiba di beskem cemara kandang dengan selamat, sungguh sebuah perjalanan yang cukup menguras energi dan emosi. Benar-benar perasaan dan tenagaku dipermainkannya selama pendakian ini. Sambil menunggu jemputan tiba, kami makan di sebuah warung, perjalanan pulang sebagian besar dihabiskan dengan tidur setelah kelelahan fisik dan batin melandaku sepanjang perjalanan.
Kami beristirahat di rumah Tio sampai sore hari, yang lalu kami berpamitan dan pulang kembali ke Semarang. Dan seperti yang kujanjikan dalam doa rosarioku di lawu itu, aku mengucapkan terima kasih kepada ke dua orang tuaku yang sudah memberikan kepercayaannya padaku. Selain itu juga aku meminta maaf kepadanya karena aku memang pecundang dan khawatir aku tak bisa berkata apa-apa kalau berhadapan dengannya, aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepadanya cukup panjang memang, aku meminta maaf padanya atas segala sikap kekanak-kanakanku selama ini yang sudah membuatnya tidak nyaman, semenjak itu aku mencoba untuk tidak mengusiknya lagi, apapun yang terjadi karena memang aku yang salah, bahkan jika dia membencikupun aku rela, yang penting aku masih bisa melihatnya bahagia.

(-end)



No comments:

Post a Comment