Sunday, 11 June 2017

Post Power Syndrome

Belakangan hari-hariku terasa membosankan. Selepas sidang, revisinya saja gak ada seminggu sudah selesai. Aku bingung mau mengerjakan apa. Dalam hatiku mau ini itu, tetapi belum selesai ngurus penyelesaian laporan. Mau nyari bacaan baru di gramedia, duit lagi di spare buat penjilidan sama daftar wisuda.

Awalnya, selagi menganggur begini, kuputaskan untuk membuat novel lagi, tapi dari kemarin belum ada ide, mau buat novel seperti apa. Mau main basket, lagi pada ujian, mau lari pagi, tidur aja baru jam 12 terus, susah susah. Hingga akhirnya kuputaskan untuk menghentikan satu buah kebiasaan burukku yang selama ngerjain skripsi jadi gak ke kontrol, yaitu merokok.

Kurasa akan cukup sulit untuk langsung berhenti, jadi kuputuskan untuk membatasi, 1-2 batang perhari. Sudah seminggu, cukup sulit memang, beberapa kali batasan tersebut sempat kulanggar. Awalnya sih masih semangat aja, tetapi lama kelamaan, mulut rasanya sepet, gampang ngantuk, mager, sulit mikir, kadang-kadang juga pusing. Parahnya lagi klo pas ada waktu kosong, wah udah itu pikiran kemana-mana gak jelas udah kayak orang depresi. Mirip kayak gejala orang yang kena post power syndrome.

Jadi biasanya orang yang pernah megang sebuah jabatan atau aktif disebuah organisasi ketika mereka berhenti dari rutinitas tersebut. Mereka akan menunjukan gejala perilaku yang lain dari biasanya. Memang gak negatif sih, tapi mungkin bisa dianggap mengganggu bagi beberapa orang. Biasanya orangnya akan jadi sensian / baperan bahkan sampai cemas yang berlebihan ketika seseorang tidak mengindahkan nasihat mereka. Tak jarang juga mereka masih suka mengontrol atau mengatur sesuatu yang sudah bukan ranah mereka lagi.

Dulu aku juga sempat terkena sindrom tersebut, namun efek berhenti merokok ini juga rasanya hampir sama seperti itu. Ya aku yakin dibalik usaha yang sulit ada hasil yang baik pula. Sekarang aku sudah bisa kembali mengontrol semuanya lagi, pikiran, perasaan, dan perbuatan. Aku sudah kembali seperti aku yang dulu. Menemukan kembali kebebasan, untuk mencintai orang yang pantas untuk aku cintai, berteman dengan orang yang memang ingin berteman denganku, orang mau bilang apa juga udah terserah, selama yang aku lakuin itu memang yang buat aku nyaman dan bahagia serta tidak mengganggu hak orang lain.

Perasaan takut akan kehilangan orang-orang yang aku anggap berharga juga sudah tidak ada. Aku yakin jika mereka memang seberharga itu dalam hidupku, sekalipun jarak memisahkan mereka juga akan menganggapku sama berharganya bagi mereka. So, aku rasa aku sudah siap untuk meninggalkan kota ini, mencari petualangan hidup yang baru lagi, bertemu wajah wajah baru, dan belajar lebih banyak lagi.

Monday, 5 June 2017

Agama Dalam Imagi

Belakangan ini, kondisi kehidupan masyarakat di Indonesia sedang tidak stabil. Hal ini disebabkan oleh sebuah istilah yaitu Agama. Well, sebelum meranah ke pemahaman orang banyak, aku sendiri merasa agama itu memang penting. Why? karena kita sebagai manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan membuat kita menjadi takut. Takut untuk bertindak, berkata, bahkan hidup. Jadi, aku pribadi masih merasa agama itu sebagai kebutuhan yang utama, paling tidak sebagai tempatku untuk berpegang, sebagai sebuah keyakinan yang mendalam tentang adanya Tuhan.

Ada sebuah kicauan menarik di lini masa saat ini, yaitu seorang pemudi bernama Afi, yang salah satu tulisannya berbunyi Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan. Tentu saja, kicauan tersebut menuai pro-kontra. Klo bagi saya sendiri, well, not good but not half bad either. Sebagai orang Katolik, yang memang dapetnya warisan, tetapi sejauh ini saya masih berpegang teguh dengan iman saya, merupakan sebuah perjalan religi yang panjang. Memang tidak salah, hanya saja, penuturan yang dia tuliskan dalam tulisannya di facebook, saya pribadi tidak menemukan sangkut pautnya, pantas saja banyak yang kontra, namun sebagai sesama penulis saya yakin dek Afi ini sudah memikirkan matang-matang tentang tulisan tersebut, dan saya akan senang jika bisa duduk ngopi, ngudu, lalala, sambil membahas tentang agama warisan ini.

Well, hard to denied, agama di negara kita memang warisan. Mengapa? karena di negara kita ada agama yang diizinkan dan dilarang, serta semenjak lahir dan menjadi warga negara Indonesia kita diwajibkan beragama. So much for freedom, that's this country always proud of, ditambah lagi kebebasan untuk berpendapat juga semakin dikekang di negara ini. Well that aside, back to the main topic, kericuhan ini bermula dari terangkatnya kasus tentang permasalahan yang "katanya" penistaan agama oleh bapak Basuki Tjahya Purnama a.k.a bapak Ahok. Hal-hal berbau agama menjadi sesuatu yang sensitif di telinga masyarakat saat ini, kaum-kaum ekstrimis dari berbagai agama muncul kepermukaan, dan seperti halnya pedagang di pasar, mereka menggadang-gadangkan agama mereka masing-masing.

Melihat hal tersebut, saya mencoba merefleksikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Saya pribadi merasa, ini merupakan ujian kepada bangsa Indonesia, sebagai sebuah negara, yang menganggap bahwa Ketuhanan adalah hal yang utama. Kita sebagai orang-orang beragama, sebenarnya sedang diuji, sejauh apa iman kita sudah percaya pada-Nya. Aku menarik sebuah benang merah yaitu, sistem pendidikan agama di Indonesia ini masih kurang tepat sasaran. Hal ini sebenarnya sudah aku pikirkan sejak dulu zaman SMP, SMA, hingga kuliah. Ada kalanya dulu, saya pernah berpikir, mengapa saya dilahirkan sebagai orang Katolik, hingga setiap hari saat saya berangkat ke sekolah Negeri, saya harus mendapatkan berbagai macam penolakan dari mereka yang tidak seiman dengan saya. Mencoba untuk menemukan jawaban dari permasalahan itu, setiap hari saat itu, saya mencoba untuk membaca Alkitab. Perlahan basis iman agama saya mendapatkan penguatan. Tapi hal itu tidak menjawab semua keraguan saya, akhirnya saya mencoba membaca kitab-kitab versi bahasa Indonesia, agama-agama lain. Lalu apa yang saya temukan, semuanya kurang lebih sama.

Hal ini lantas menjadi pemikiran yang belakangan ini saya rasa mungkin bisa menjadi sebuah landasan, kalau sistem pendidikan agama di negara kita memang belum tepat. Jika kita sejak SD, pelajaran agama kita sudah dikotak-kotakan, bagaimana mungkin saat berada di masyarakat kita bisa membaur? Seperti hal yang disampaikan oleh Romo saat misa di Karangpanas kemarin minggu, Gereja itu hanya organisasi, hirarki hanya otoritas, dan liturgi hanya upacara, semuanya itu terjadi jika tidak adanya kehadiran Tuhan di dalamnya. Kitab-kitab suci mengajarkan tentang kita, sesosok Tokoh yang menjadi lambang kehidupan kita, lantas apakah kita akan selalu bisa menjadi cerminan dari mereka? jawabannya tentu tidak. Oleh karena itu kenapa kita harus memaksakan anak-anak kita menjadi sama seperti mereka, padahal siapa yang tahu jika ternyata idola mereka dan kita berbeda.

Menurutku tidak ada salahnya, jika setiap anak diajarkan mengenai berbagai agama yang ada di Negara ini. Menurutku selama masa sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, sudah cukup bagi mereka untuk memahami baik-baik tentang semua agama tersebut. Biarkan mereka memilih, mana yang menjadi panggilan mereka, sementara untuk proses keimanan yang lebih dalam, bukankah lebih baik diserahkan pada Agama yang bersangkutan, dengan mengadakan proses pembelajaran di luar jadwal sekolah, jika dirasa hal tersebut memang penting bagi mereka (anak-anak). Klo kata temanku, hal paling simpel adalah, biarkan anak-anak memilih, mereka mau berkomunikasi dengan Tuhan dengan cara apa. Sehingga mereka tahu, alasan mereka beragama itu seharusnya adalah untuk membangun komunikasi dan relasi yang baik dengan Tuhan, serta direfleksikan dengan komunikasi dan relasi yang baik terhadap sesamanya.

Aku sadari, hal tersebut tidaklah mudah. Terutama menyangkut masalah pengajarnya. Menciptakan seorang pengajar yang mampu mendidik secara objektif, dan mampu menyampaikan nilai-nilai rohani dengan baik masih cukup sulit. Lalu apakah pelajaran agama masih penting untuk dibawa dalam sistem pendidikan formal? Karena menurutku keyakinan seseorang terhadap Tuhan, tidak mampu diukur dengan nilai yang ada dalam sekolah formal. Tolak ukur ini yang menyebabkan masih banyaknya masyarakat kita yang buta dengan alasan mereka pribadi dalam beragama, sehingga kesannya masih gampang ikut sana-ikut sini.

Kalau basisnya kita adalah orang yang percaya dengan adanya Tuhan. Bukankah segala kejadian yang ada di dunia ini, semua sudah ada dalam rencana-Nya? Kalau Tuhan mau kita lahir sama, kita pasti sudah lahir sama, dengan keadaan yang sama, tetapi belum sadarkah kita, Tuhan memang menginginkan kita untuk hidup berbeda? Kita tidak perlu sibuk mempropagandakan agama kita masing-masing, apakah agama diciptakan untuk menjadi sebuah barang yang diperjual belikan dan disembah? Karena itu dalam hidup aku selalu berprinsip, aku hidup hanya untuk Tuhanku dan sesamaku manusia saja. Aku sendiri juga tidak senang dengan pemuka agamaku yang dalam ceramahnya seolah mendeskreditkan mereka yang tidak satu keyakinan denganku. Bahkan dalam alkitab sendiri tertulis dalam 1 Korintus 12: 5-7, yang berbunyi, "Dan ada rupa-rupa PELAYANAN, tetapi hanya ada satu Tuhan. Dan ada berbagai macam perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu; Dialah yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan pernyataan Roh untuk kepentingan bersama." karenanya saya sendiri sebagai orang Katolik, jika memang yang dilakukan sesamaku manusia adalah hal yang dilakukan demi kepentingan bersama, sesungguhnya dia sudah melakukan pelayanan terhadap Tuhan yang sama denganku. Karenanya percuma jika engkau sebagai orang Katolik berteriak-teriak Yesus itu Tuhan, jika dalam teriakanmu tidak terdapat Roh kudus di dalamnya.

Mungkin ini sedikit pemikiranku, menanggapi maraknya perselisihan yang terjadi dalam hidup bermasyarakat di Indonesia, karena masih banyaknya masyarakat Indonesia yang berpegangan pada agama dalam imagi mereka, bukan agama yang berasal dari keyakinan mereka terhadap Tuhan YME. Semoga saja bangsa Indonesia bisa melalui ujian ini dengan baik.


"Seperti halnya pensil, agama ditangan orang yang salah, dapat digunakan untuk membunuh"



How to Unlove your feeling?

Jadi, selama ini aku selalu merasa, kalau perasaanku kacau karena permasalahanku dengan Tugas Akhirku. Well, sudah hampir seminggu, aku dinyatakan lulus dari ruang sidang selasa kemarin, tapi mengapa rasa ini masih ada? Apa mungkin aku coba ke psikoterapis? Mesti bayarnya mahal. Mereka bilang memang gak gampang, dan butuh waktu. Cuma klo perasaan ini tiba-tiba datang seperti hari minggu kemarin, itu jadi permasalahan sendiri.

Awalnya karena aku sadari rasa ini muncul lagi, aku memutuskan untuk gereja Banyumanik, sampai tiba-tiba aku melihat jadwal MotoGP sore itu jam 7. Pikirku kalau aku ke gereja Banyumanik, aku gak bakalan sempat liat MotoGP, tapi klo ke gereja Karangpanas, aku pasti bakal ketemu pengurus PRMK FT yang udah pasti juga ada Maria. Mungkin klo ketemu aja gak masalah kali ya, tapi klo sampe harus tahu dia ke gereja sama cowok lain, meskipun aku bukan cowoknya, perasaanku pasti bakalan kacau deh.

Setelah kupertimbangkan matang-matang, aku akhirnya memutuskan untuk tetap ke Karangpanas, karena bagaimanapun aku lebih kepingin nonton MotoGP, sambil berusaha mengalihkan pikiranku ke hal-hal lain. Sesampainya di gereja, seperti biasa, aku duduk di bangku yang biasanya aku singgahi, kondisi masih sepi, karena aku sepertinya berangkat terlalu cepat, awalnya aku berniat menghindari kemungkinan macet, tetapi jalanan masih sepi. Pikirku dari bangku ini, aku tak akan mungkin mengetahui kedatangan pengurus PRMK FT, apalagi prediksiku pengurus PRMK FT paling terlambat. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain, saat salam damai, aku melihat barisan pengurus PRMK FT duduk di tengah, yah dan dia ada di sana, damn pikirku.

Hatiku sedih, hatiku gundah, hatiku bertanya, hatiku curiga, mengapa aku seperti ini Tuhan, jauhkan aku dari segala prasangka, bantulah aku melihat segalanya lebih dekat, dan buatlah aku lebih bijaksana. Itu yang aku harapkan saat itu, namun aku tak bisa. Akhirnya daripada-daripada, aku memutuskan setelah gereja selesai, aku pergi melalui pintu samping dan langsung menuju parkiran. Aku pikir juga, salamku kepengurus sudah kutitipkan ke Christin, jadi ya it's not a big deal.

Selama perjalanan kembali ke kos aku berpikir lagi, aku jadi teringat pertanyaan Maria waktu ke Kerep, dan sepertinya kesalahanku saat itu adalah aku berkata seperti itu. Ya alasanku waktu itu aktif lagi di PRMK juga karena memang aku pingin deketin dia, tapi aku menjawab hal lain yang klise. Sekarang statusku juga sudah bukan mahasiswa lagipula alasan terakhirku untuk tetap ada di PRMK juga sudah tidak ada. Aku jadi teringat perkataanku sendiri saat awal kepengurusan 2014, PRMK yang aku kenal sudah lama mati. AD ART yang klo di negara itu ibarat Pancasila saja sudah dirubah, rumahku itu memang sudah hilang, itu juga yang jadi alasan kenapa sekarang aku klo ikut acara PRMK harus ada temanku, karena mereka merupakan bagian dari rumah yang sudah hilang itu. Aku sudah memutuskan untuk tidak terlibat dalam segala permasalahannya, klo memang ada yang ditanya ya jawab sesuai yang ditanya saja, mau disuruh nyari jawaban sendiri juga udah pada males.

Yeah, 23 years old, and still don't know how to deal this kind of feeling, sometimes back in the head of my mind, I regret to be back again that's time, and I didn't come just by myself, I dragged along all of my friend back into it. I feel sorry toward them, to be dragged to my mess, and eventually they already back to the place they used to be, so do I. Maybe avoiding some of PRMK event at least if there is no one asked me to come personally, will help me to undo this feeling. It's may take sometimes, but seriously I don't know the best way to deal with it.

Saturday, 3 June 2017

Did i love her or i just love the moment?

Sebuah pertanyaan kecil kembali muncul di pikiran ini. Sebuah pertanyaan yang unik yang muncul di sebuah film berjudul cavemen. Sekilas aku merasa tokoh Dean di film tersebut mirip denganku, mulai dari sikapnya yang berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang-orang disekitarnya terutama para sahabatnya.

Tulisan di atas merupakan sebuah penulisan singkat yang aku tulis di note handphone ku pada tanggal 27 April 2014. Jadi seperti pada postingan ku hari ini yang lain, aku sengaja memindahkan beberapa tulisanku dari note ke blog, karena aku khawatir jika tulisanku di note suatu saat hilang karena aku lupa pernah menulis di situ.

Untuk postingan kali ini cukup membuka pemikiranku. Aku memang tipe pria yang sangat mudah sekali jatuh cinta terhadap sebuah moment. Hal itu aku rasa tidak terlepas dari kepalaku yang tidak mudah lupa, dan tidak pernah diam juga.

Sampai sekarang pun aku masih bertanya-tanya. Did I really love all of them or just I love the moment that I had with them? Apapun itu, aku rasa suatu saat aku akan bertemu dengan wanita itu. Yang sama-sama menikmati moment ketika aku dan dia berdua saja. I know, you are somewhere in the corner of this wide world, that you do looking for me as well as I'm looking for you, and when the time we finally met, we will just laughing next to each other talking about how long and confusing this journey had lead us on.

And for now, let me cherish this glorious feeling that still affect me, after finishing my bachelor degree. I have been put on the rough way to be able to get to this point. Some may said that I was lucky, but truthfully, it was because of His grace that I managed to pull it off. So, I know I already told some of my friend this tips, how to get more luckiest, you need to get rejected a lot.. hahaha, I don't know if that'll work on anyone else, but to me I think it was worked just fine.

This Night Just so Perfect

Setelah sekian lama akhirnya aku merasakan lagi hal itu, ya pada acara bakar2 ini aku bisa merasakan sebuah rasa kedekatan keluarga dengan yang lain. Sepertinya semua usaha yang aku lakukan dari pagi tadi tidak percuma. Semua berjalan sempurna, melihat raut wajah yang menyenangkan dari mereka yang datang sudah cukup membuatku melupakan semua rasa laparku. Aku tak tau seperti apa rasanya masakan itu, tapi rasa senang dan puas melihat keluarga ini berkumpul sudah lebih dari cukup.

Meskipun ada 1 kejadian yang cukup mengangguku di mana seseorang yang kuundang untuk datang dalam acara ini entah mengapa tak memberikan tanggapan sama sekali. Yah, mungkin memang dia sibuk, mungkin juga aku yang membuatnya tak nyaman, sepertinya saya akan menyerah untuk mendekatinya. Mungkin memang lebih baik aku hanya berharap dia sebagai temanku saja nothing more.

Aku sudah tak mau lagi bermimpi jika pada akhirnya aku harus menahan perih lagi. Tapi terlepas dari itu semua, this night just so perfectly.

(26 Juni 2014)

Sebuah Puisi Kecil dari Note

Hai malam,
Kau tahu aku pernah membenci kota ini?

Karena semua derita dan pengalaman buruk di sini..

Entah sudah berapa bulir air mata menetes

Tapi sepertinya tidak untuk saat ini..

Aku sadar, aku mengerti..

Semua kejadian buruk itu telah menguatkanku..

Mengajarkanku untuk tetap tenang..

Tetap tersenyum dan tak menyerah..

Malam ini aku bersyukur sekali..

Kau telah menempatkanku di sini

Telah mengenalkanku dengan mereka

Mereka yang bisa kupanggil kakak dan sahabat

Mereka yang telah membimbingku

Menolong dan menasehatiku

Mengajarkanku untuk melihat dunia

Dari sudut pandang mereka yang beragam

Membuatku tak lagi membenci kota ini.

(9 November 2014 - updated from phone note)