Thursday, 31 December 2020

Despite no matter how much I hate losing, I'm always lose to myself. I don't know what I really wanted the most anymore. Somehow it's felt so much hurts, this emptiness, this life, all of it just suck, no more, I'm tired of it. 

Sunday, 29 November 2020

Such A Waste

I love you. 
That time. 
But now everything is different. 
I am changing, you're changing. 
We might even barely know each other anymore. 
So that unspoken feeling of mine, 
has been left behind in the past. 
I stopped trying to find the old you. 
I realized, I've been deceived by my own fantasized. 
Pathetic guys. 
No more, I've done. 
I'm tired chasing over you. 
I thought you'd be difference. 
In the end you just the same. 
Such a waste. 

Monday, 23 November 2020

 Aku tidak bisa selamanya menjadi seseorang yang selalu dilindungi dan dicintai. Seraya waktu bertambah, banyak sekali anak-anak lahir di dunia. Merekalah yang membutuhkan perlindungan dan cinta. Agar jembatan harapan masa kini dan masa depan tetap terjaga. Banyak sekali teman-temanku mulai melahirkan bibit bibit baru ke dunia, dan aku bahagia melihat itu semua. 

Dunia mungkin sedang kacau saat ini, pandemi, perang, dan bencana ada hampir di setiap sudut dunia. Aku sempat berpikir untuk menyerah dalam hidup, untuk apa aku berjuang di dunia yang kacau ini, pikirku kala itu. Namun, saat melihat mereka, yang masih kecil, polos, dan bersih lahir di dunia. Aku sadar, sudah jadi tanggung jawabku sebagai yang dewasa, untuk membukakan jalan ke masa depan yang lebih indah untuk mereka.

Aku tak pernah tahu, apakah aku mampu, untuk membuka jalan bagi mereka. Bahkan ketika berusaha menolong diri sendiri saja sudah sulit. Tapi aku tahu benar, rasa yang ada dalam diriku ini nyata adanya. Kesedihan yang kurasakan ketika membayangkan mereka akan tumbuh dalam dunia yang penuh kekacauan, aku rasanya benar-benar ingin menangis. Kenapa dunia ini penuh dengan mereka yang tua dan serakah, tidak bisakah mereka mengalah kepada kebaikan? Jawabanya tidak, kebaikan harus ikut berjuang. Jika yang baik memilih menyerah, maka dunia tidak akan pernah berubah, karena itu aku tidak akan menyerah. Seberat apapun hidupku, meski seorang diri sekalipun, atau bahkan jika seluruh dunia akan menjadi lawanku, aku tak akan peduli, aku tidak menyerah dalam kebaikan. Sudah cukup bagiku rasanya untuk bermuram durja karena kelemahan dan kegagalan, aku harus jadi lebih kuat karena sekarang waktunya bagiku untuk menjadi orang yang melindungi dan mencintai mereka.


Sunday, 25 October 2020

The most emptiness feel someone could felt was not because there is no one close to me, rather despite being surrounded by everyone, It seem no one understands me.

I knew the consequences of the way I acted, far before it came to this point. I live with that mask for so long, until it becomes natural to wore it today. Even though it's nice to look everyone smiling, but deep inside I'm still wishes that someone out there who genuine enough would be brave to take that mask off my face. I don't have the courage to take it off, because I always knew no one would like what it's look inside. Yeah despite being a loner, I'm afraid being lonely and that mask helped me hidden my loneliness intact. 

Monday, 17 August 2020

Alasan Kenapa Aku Masih Sendiri

Orang-orang minta gw buat romantis,
Tapi gw gak bisa..
Gw gak bisa ngerayu cewek,
karena gw orangnya objektif..
Buat apa muji-muji klo gak ada achievementnya?
Belum lagi gw diminta peka,
Dikira gw Tuhan yang bisa baca pikiran apa?
Waktu gw terlalu berharga buat mikirin orang maunya apa.
Gw diminta buat usaha lebih ketika deketin cewek,
Bukannya gw gak mau, tapi buat gw relasi ke arah pacaran itu buat gw investasi..
Kalau tujuannya udah jelas okelah gw usaha lebih, lah ini tujuannya aja belum jelas buat apa buang-buang resource..
Gw lebih prefer orang yang apa adanya, yang tujuannya dengan tujuanku searah..
Kalau disuruh prefer, gw seneng cewek yang egois..
Karena artinya, dia tahu apa yang dia mau dan apa yang dia gak mau, dia udah tahu skala prioritas dalam hidupnya, dia tahu apa yang penting dalam hidupnya..
Jadi alasan kenapa gw masih single sampe sekarang, ya karena gak ada cewek yang kayak gitu, kebanyakan masih pingin diperjuangin dulu, dingertiin dulu, diprioritasin dulu, lah lu siapa, jadi orang yang penting dihidup gw juga belum..

27 tahun

Tak terasa..
Tiga tahun lagi akan kepala tiga
Usia yang terus bertambah
Diiringi luka dan tawa

Geli..
Saat menilik diri sendiri
Diujung muda yang hampir usai
Apa yang sudah kucapai

Apa kabar diriku yang lalu..
Sudahkah kau lihat setengah usiamu?
Sudahkah kau tentukan arah langkahmu?
Janganlah habis tanyamu akan hidup

Hai diriku..
Tak apa jika semuanya tak baik saja
Tak apa jika kau ingin marah atau menangis tersedu
Karena kita hanyalah manusia

Kamu kuat..
Itu yang kukenal tentang kita
Tak peduli orang bilang apa
Kita yang tentukan mereka lihat apa

Terus tumbuh..
Jangan takut untuk terjatuh
Jangan ragu untuk maju
Karena diam hanya akan meninggalkan malu

Sayangilah..
Mereka yang berharga
Karena waktu semakin mahal
Ketika usia terus bertambah

Thursday, 13 August 2020

Ragu


 Hidup tanpa mimpi, hampa,

Ingin mengejar ragu, takut?

Berdiam dalam sendu bagai candu,

Berunggun asa, percuma

Nyata tak lagi senada

Irama hilang dalam doa

Di mana ada percaya?

Dalam diam menunggu masa.

Saturday, 8 August 2020

Entahlah

Belakangan ini, aku mulai merasa semua emosi yang ada dalam diriku, yang biasanya meledak-ledak perlahan mulai tenang. Aku mengira, mungkin aku sudah bisa mengendalikan perasaanku, tapi kenapa hanya kosong yang kurasa. Melihat realita hidup yang tidak pernah mudah, seolahku membuatku berpikir, mau emosi seperti apapun percuma, karena pada akhirnya semua hanya akan berakhir mengecewakan, jadi untuk apa bersusah payah.

Aku bahkan tak ingat lagi seperti apa rasanya jatuh cinta, atau hasrat untuk mencintai seseorang, bagiku semua orang sama saja, tidak ada yang spesial, hanya wajah lain yang ku kenal itu saja tidak lebih. Bahkan ketika kerja kerasku berakhir di tempat sampah sekalipun aku tidak marah, entah seperti ada yang hilang dalam diriku, tapi aku tak tahu itu apa. Bahkan rasa sakit yang setiap hari kurasakan karena penyakitku, mulai tak lagi mengganggu bagiku. Mungkin aku sudah begitu akrab dengan penderitaan dan kegagalan, sampai aku tak lagi berharap lebih. Bahkan jika esok aku mati sekalipun, tak masalah bagiku, sudah tidak ada lagi yang mengejutkan bagiku di dunia ini.

Sunday, 21 June 2020

FRIEND

It's been such a long time, since I feel strong enough to write about something. This day I realized, after I watched an anime which title is Kiznaiver, I understand what I've been felt for so long. Sometime you know, I always thinking, my relation with everyone was a fake one. Like, you know I tried so hard to kept them together, but I think that wasn't the case. After watching the movie I realize something, it's okay for us to keep secret with each other, to secretly have a crush one another, or even fight for something foolish, hurting each other, everything was fine, because you know why? because we don't know a thing about each other.

If I can compare my personality with the character of the anime, I'm like Chidori, the female character, yup how shame of me, but I thinks it's okay, because that how I really am. I am just a goody two shoes person, everything I do was look like I did for the other but honestly deep down I'm only thinking about myself. How she hesitated about her feeling toward Kacchon who she secretly have a crush with, really look a lot like me, even in the end she got rejected and how she want to keep close to him, much more like me.

It's make me thinking for a while, all of the years I spent in university, never really walk in the park. There are times when things get so hard, so tough, but never bit once I thought it was one big deal. It's because I have them, someone I can rely on, someone I can trust with, someone who would punch me in the face when I go wrong, someone who I can talked to, and someone who I can spend my time doing nothing, just sitting and starring to the skies.

Then come the times we all got separated. We goes all around the globe, we have our own life, chasing our own dream. I thought it hurts so much, I've knew this feeling before, the felt of someone who suddenly disappear, someone who suddenly changed, the feel of being abandoned, that what I thought, this kind of thing happening again in my life. That's why I started to distancing myself, not just with someone who I work with, but also with them. Yet, no matter how hurt it is, my hearth can't stop but wondering, how they feel, what kind of hurdles they have right now, are they fine, healthy, safe, there's so much things I don't understand.

It's because I don't understand that I wonder what the other is thinking and try desperately to understand every word they say. I end up thinking too much about the other person, and being close to them becomes painful so I try to distance myself. I believe I become friends with somebody by doing that over and over, and that's how... If we were able to know and share other people’s pain and suffering as our own, fighting would not occur... However, there are limits to a person’s imagination.


If I still want to connect, I can’t just keep waiting. I have to try to connect on my own. I would never knew just by wondering, guessing, I won't know where it hurt when thing stay closed behind the door, the think is I never once have a honest talk with them all, even though, they share their pain with me, I do want to connect with them, it's okay if I don't understand, I just wanted to stay with them a little longer, and understand a little bit better.. As much as I hate to admit it, it’s how I became friends with these guys.

Thanks for becoming my friends.

Tuesday, 28 April 2020

Tujuh Tahun Yang Lalu

Matahari pagi masuk melalui sela-sela jendela kamarku. Hangatnya menggugahku untuk segera membuka mata. Aku coba mengingat-ingat hari apa ini, kalau tidak salah nanti malam akan ada acara itu. Ya, sebuah acara yang dinantikan banyak orang termasuk teman-temanku.

"Woi, tidur mulu, mandi sana bangun.." Suara yang tak asing datang dari depan pintu kamarku.

"Sebentar, aku masih terlalu malas untuk bangun." Jawabku seraya membalikan badanku.

"Kamu ini, memangnya kamu sudah bikin surat buat si dia?" Aku masih tak bergeming, dia pun mulai masuk ke dalam kamarku dan duduk di atas kasurku. "Kau tahu, kesempatan seperti ini gak akan datang dua kali, kamu yakin gak mau buat?" 

Aku memalingkan wajahku ke arahnya. Kuperhatikan wajahnya dengan seksama, seperti orang yang menaruh harapan besar padaku. Aku paling lemah menghadapi orang seperti dia. Aku termasuk orang yang sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Jauh dari rumah dan sanak-saudara, membuatku sedikit merasa kesepian. Aku pernah membaca, salah satu cara untuk menarik perhatian banyak orang adalah dengan membuat/melakukan sesuatu di luar ekspektasi. 

Aku yang tidak pernah tertarik dengan hal-hal berbau romansa, mencoba untuk mengerti akan hal itu, lalu pikirku jika aku yang mempunyai image seperti ini berbuat sesuatu yang berbau romansa, pasti akan menjadi sebuah sorotan yang luar biasa. Ternyata benar saja, aku yang awalnya cuma iseng itu, ternyata benar-benar terbukti, sebenarnya aku tertarik dengan temannya, tapi karena aku tahu temannya itu menyenangi orang lain, dan impact yang akan diberikan sangat kecil, aku memutuskan menjadikannya sebagai bahan percobaan teoriku ini. 

Seiring berjalannya waktu, aku mengetahui ada orang lain yang juga mencintainya, yang benar-benar mencintainya, karena itu aku memutuskan untuk berhenti, karena tujuan yang aku cari itu sudah tercapai. Aku sudah punya banyak teman, semua orang mulai menilaiku sesuai dengan yang aku inginkan. Sesungguhnya aku merasa puas tapi, ada ketakutan dalam diriku, jika dia berpacaran dengan orang lain apakah image yang sudah susah payah kubangun itu akan hancur? Aku bertanya-tanya dalam diriku, sebenarnya apa yang aku mau. 

"Woi malah melamun, kau ini kebanyakan mikir.." Seruannya mengejutkanku.

"Tidak, aku tidak ada motivasi, kamu aja yang buat sana.." Aku mulai kembali memejamkan mataku.

"Hoo, awas aja nangis-nangis di depanku, kapan lagi ada kesempatan kayak gini.." Dia pun mulai melangkah keluar dari kamarku.

Sepertinya, aku tetap harus melakukannya ya, paling tidak untuk menutup teori percobaanku ini. Meskipun aku tahu dia sekarang sudah bersama yang lain, tapi aku harus bisa menanamkan image yang dalam di semua orang, lagipula aku tidak bisa mengecewakan orang yang percaya padaku.

Malam haripun tiba, aku tidak menyangka, ternyata yang datang malam itu sangat banyak. Seyakin-yakinnya akupun, tetap merasa ciut melihat orang yang hadir sebanyak ini. Setelah panitia membacakan surat-surat yang terbaik, acara dilanjutkan ke api unggun. 

"Aku tahu kamu sudah bikin surat itu, ayo mending sekalian sekarang kamu omongin, mumpung ada api unggun." Sobatku yang selalu saja secara tiba-tiba membisikan ide-ide jahat. Aku yakin sobatku sendiripun sebenarnya sudah tahu kalau dia sudah tidak sendiri lagi. Aku tidak dapat mengecewakan mereka, sekalipun aku sudah tahu jawabannya, malam ini aku harus menyelesaikan semuanya, karena bagaimanapun juga aku yang memulai.

Waktu terasa melambat, saat aku mulai melangkah maju ke tengah-tengah lingkaran, panasnya api unggunpun tidak terasa di dalam diriku, hanya dingin, dingin yang menusuk sampai ke tulang. Aku coba menarik napas, mencoba meraih sedikit kelegaan yang ada. Bayang-bayang akan apa yang terjadi setelah ini, seolah nampak dalam kilatan api unggun. Apakah keputusanku sudah tepat, bagaimana jika usaha yang sudah kubangun selama ini akan hancur seketika, aku lupa, ada banyak temanku di sana, apakah usahaku untuk mengenal mereka selama ini akan hancur, tapi sudah terlambat untuk mundur, opsiku hanya ada untuk maju, dan melihat segalanya sampai akhir, jika semua yang sudah kubangun itu hancur malam ini, berarti memang teori yang kubuat itu salah.

Begitu saja, kata demi kata terlontar dari mulutku, ditengah pekatnya malam, melawan rasa dingin, aku mengakhiri semuanya. Secarik kertas terbang dalam api, mengakhiri sebuah misi yang ku mulai sedari dulu. Akhirnya semua yang kutakutkan itu tidak pernah terjadi, semua yang kubangun susah payah itu tetap utuh, dan cerita yang aku bangun itu, menjadi legenda hidup tersendiri bagi mereka yang menyaksikan. Aku merasa lega.

Tujuh tahun setelah kejadian itu, aku mulai merasa jenuh dengan semuanya. Sepertinya caraku yang telah membangun relasi dengan memanipulasi orang lain itu, hanya menghasilkan relasi yang hambar. Aku tidak pernah mengenal teman-temanku, begitu pula mereka tidak pernah benar-benar mengenal aku. Saat ini aku hanya hidup dalam imagi diriku yang kubangun untuk mereka. Aku lelah, harus berpura-pura, sudah cukup bagiku bermain sebagai sahabat yang baik.

Friday, 24 April 2020

Hidup Dalam Pandemi

Sebuah wabah baru mengguncang dunia di tahun 2020 ini. Covid-19, begitu lembaga kesehatan dunia atau WHO menamainya, virus yang diduga berawal dari Wuhan, sebuah kota di China. Awalnya sama seperti masyarakat awam pada umumnya, aku hanya mengira, ini merupakan virus baru yang biasa saja, tapi ternyata tidak. Angka kematian yang tinggi, yang diberitakan media, baik dalam dan luar negeri yang terjadi di China, lalu menyebar ke asia timur, asia selatan, bahkan hingga eropa dan amerika. Data korban terus bertambah setiap hari, menyebabkan kepanikan dimana-mana. Alat kesehatan seperti masker dan hand sanitizer menjadi langka, bahkan alkohol sendiri pun hilang dari peredaran.

Aksi penimbunan yang dilakukan beberapa oknum masyarakat, sungguh memperburuk keadaan, ditambah respon pemerintah yang sangat lambat. Pemerintah selalu berkoar-koar baik media masa dan cetak, untuk masyarakat tidak menggunakan masker medis, namun sampai hari ini aku masih saja menemukan masker medis dijual belikan secara online, di group-group social media. Berbeda dengan masker, berbeda pula dengan peraturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), aturan ini seperti aturan karet, pemerintah tidak bersikap tegas sama sekali, dan cenderung acuh dengan kondisi masyarakat.

Sebenarnya ada kecemasan tersendiri dalam diriku. Aku tidak cemas, akan kesulitan pangan, yang aku cemaskan adalah kondisi sosial masyarakat pada umumnya. Tidak semua warga yang tinggal di Jakarta mempunyai penghasilan tetap tiap harinya, beberapa ada yang harus bekerja tiap hari hanya untuk makan hari itu saja. Belum lagi, gelombang phk, dan pemecatan, akibat imbas dari perusahaan yang merugi bahkan beberapa ada yang gulung tikar, semakin mencekik kondisi sosial masyarakat. Hal ini diperparah pula dengan dibebaskannya narapidana dari dalam lapas, tanpa adanya rehabilitasi yang jelas, semakin menambah beban pikiran masyarakat yang masih waras.

Aku benar-benar merasa pemerintah sudah sangat blunder dengan hal ini. Sekarang aturan yang melarang warga untuk keluar dari Jakarta, juga bukan jawaban yang tepat saat ini. Bayangkan, mereka yang hendak keluar dari Jakarta itu kebanyakan adalah mereka yang sudah mulai merasa kesulitan untuk tetap terus bertahan di Jakarta, terutama dari segi materi dan ekonomi. Lalu pemerintah hendak menahan mereka tetap di sini? Aku tidak dapat membayangkan apalagi yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya bisa berharap, aparat masih mampu bertindak tegas dalam menjaga ketertiban dan keamanan.

Hingga hari ini aku sudah kurang lebih tiga minggu bekerja dari rumah. Aku bersyukur karena tempatku bekerja tidak terdampak begitu besar dengan kejadian pandemi ini, tapi aku sadar, di luar sana banyak yang tidak seberuntung aku. Hari ini, hari awal puasa, dan perpanjangan masa PSBB selama satu bulan. Baru saja aku sembuh dari eksimku yang tetiba kumat, beruntung terakhir kali aku berobat dengan bpjs, obatnya tidak kuminum, dan ternyata bisa sembuh juga, tanpa perlu obat dari dokter spesialis. Aku sebenarnya juga kepikiran dengan kabar seputar temanku di Semarang, tapi aku yang sekarang sudah terlalu malas mengurusi hal seperti itu, maksudku, bukan aku tidak peduli, hanya saja, dia sudah dewasa, dia seharusnya sudah tahu hal terbaik yang seharusnya dia lakukan, sementara aku dan teman-temanku menurutku sudah memberikan bantuan yang terbaik yang bisa kami berikan, semoga saja dia tidak salah dalam melangkah. Aku hanya kasihan dengan orang tuanya, sungguh. 

Semakin sering di dalam rumah pun, sangat tidak sehat untuk pikiranku. Aku sangat rindu adekku, kedua orang tuaku, kakek, nenekku. Tiket yang sudah kubeli sampai harus cancel dua kalipun tidak sanggup membawaku pulang. Aku sebenarnya saat ini sangat benci berharap, tapi untuk satu ini, aku berharap Tuhan menjaga orang-orang yang kucintai dan kusayangi, karena bagiku, lebih baik diriku yang celaka, daripada mereka. Aku sangat benci pikiranku yang gelap ini, tapi aku juga sangat sayang, setidaknya pikiran ini yang mengingatkanku kalau aku masih manusia biasa.

Kali ini aku tidak akan membahas cinta dan romansa, karena dua rasa itu sudah kubunuh tahun lalu.

Tuesday, 17 March 2020

Aku Takut Cinta

Lorong co-working space tempatku bekerja mulai tampak kosong. Satu per satu tenant yang biasanya jam segini sangat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, perlahan mulai menghilang. Meninggalkanku dan sahabatku yang sedari tadi menunggu hujan reda.

"Parah ya situasi kali ini. Orang-orang jadi takut mau kemana-mana." Suaranya memecah kesepian sore itu, tangannya tidak berhenti mengusap-usapkan layar telepon genggamnya. Sesekali nampak ekspresinya berubah-ubah, dari terkejut, tertawa, heran, bahkan sedih. Pandangannya tidak pernah lepas dari layar telepon genggam tersebut. Sembari mulutnya tidak pernah berhenti memberi komentar akan hal yang dibacanya.

"Ya mau gimana lagi, belum ada obatnya, wajarkan orang takut." Jawabku

"Tapi kan ya gak harus separah gini juga gak sih? Kayak orang-orang tuh udah panik besok kiamat aja." Balasnya sambil menggerutu.

"Kamu gak takut apa?" 

"Daripada takut, bisa dibilang khawatir sih. Kalau ibaratnya tuh, orang kepleset aja bisa mati. Tapi kalau kita hati-hati dan selalu menjaga diri kan, mudah-mudahan tetap selamat." Kali ini dia memalingkan pandangannya ke arahku, sepertinya dia yakin kalau setelah ini akan ada peraduan argumen antara aku dan dia. Kita memang sering berdebat akan banyak hal, dari yang penting sampe boring, dan ironisnya adalah jarang sekali kita mencapai suatu kesepakatan bersama, tapi disitulah serunya. Bagiku pandangannya dia adalah jendela baru dalam hidupku.

Aku pun memutuskan untuk duduk di sofa, karena secara naluri pun aku sadar ini tidak akan jadi pembicaraan yang sebentar. Langit yang temaram berselimut awan pekat, menitikkan bulir-bulir kehidupan membasahi jalanan Jakarta sore itu, seolah-olah mengiyakan pertarungan argumen kita sore itu, mungkin ditambah opening lagu The Eye of The Tiger sebagai intro, akan set the mood banget.

Pembahasan kami sore ini adalah virus yang sedang merebak di negara kami. Mulai dari apa penyebabnya, kenapa bisa meluas, respon pemerintah dan dunia seperti apa, sikap masyarakat bagaimana, hingga hal-hal yang berbau takhayul dan konspirasi juga ikut dalam perdebatan kami. Kadang kita bisa ngotot akan pendapat kita masing-masing, namun kami tidak pernah emosi, karena sejatinya kita sama-sama tahu. Kalau kita sesungguhnya iseng satu dengan yang lain, hanya untuk saling menebak argumen apa yang akan dikeluarkan sebagai balasan.

Tanpa kita sadari, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Alarm di jam tanganku berdering. Kami pun terhenti dari perdebatan kami.

"Yah, lihatkan, gara-gara kau ajak aku ngobrol, sudah jam tujuh, batal sudah aku pulang cepat." Sanggahku padanya menghentikan perdebatan sore itu.

"Kan aku gak minta buat ditanggepin, lagian kamu cowok manja amat harus pulang on time, mana debat sama cewek juga gak mau ngalah, kadang aku heran kamu ini cowok apa bukan." Balas dia.

"Cowok lah, perlu gw buktikan secara genetik di depan lu."

"Yee, dasar cowok mesum." 

"Lah siapa coba yang mulai, nuduh-nuduh mesum, dah lah sama kamu ngobrol gak habis-habis, pikiranmu terlalu imajiner sampe dikuadrat dua juga gak bakal jadi nyata. Hujan udah reda nih ayo balik." Aku mulai merapikan peralatan kerjaku. Aku lihat dia masih kesulitan untuk meletakkan kembali Tupperwarenya ke dalam rak yang tinggi itu, aku ambil Tupperware itu dan kuletakkan langsung di lemari tersebut.

"Aku bisa sendiri tahu." Kulihat mukanya sedikit cemberut.

"Ini bocah, udah abstrak, pendek, belagu lagi, bukannya terima kasih, gw tinggalin dah." Aku mulai berjalan ke arah lift. 

"Ehh, tunggu, jangan marah dong, kan bercanda." Jawabnya seraya berlari menyusul.

"Masa bodo.." Jawabku seraya mempercepat langkah kakiku.

Akhirnya kami berlarian sampai di depan lift. Lift kami ternyata masih sangat jauh.

"Eh, kamu tahu gak, naik lift itu pengalaman berharga buat aku." Sepertinya keluar lagi argumen barunya. Aku terdiam dan memperhatikan wajahnya dengan penasaran.

"Kok bisa? Di desamu gak pernah ada lift apa?" balasku.

"Yee, bukan begitu."

"Lantas?"

"Soalnya waktu pertama kali naik lift, it's raised me up." Jawabnya sembari tertawa puas.

"Dasar bocah, gw kira serius." Tak lama, lift yang akan kami gunakan tiba.

"Kamu gak takut apa, sama musibah yang terjadi belakangan ini, aku tadi belum sempet nanya, jadi penasaran." Tanyanya kepadaku.

"Tidak, selama virus ini gak bikin aku bego, aku gak takut, kecuali satu virus ini yang aku paling takutin, yang bener-bener bikin bego."

"Hah, apaan itu?" Dia mencondongkan wajahnya ke arahku, berharap aku bergegas menjawab kebingungannya tersebut.

"Virus cinta."

Thursday, 13 February 2020

One Years

It's been one month since I started working in Jakarta. One big massive city. It's still as clear as the blue skies, how the kind of face I used to make. Grinning offer some big building, enjoying Transjakarta, and all of the privileged this city have. Oh, how naive.

I beginning to dream again what my future may fold. Even I dare to think, someday I could conquer this city. That time I thought I won't change, yet I did.

Jakarta Isn't as cool as I thought it would be. Smart city with stupid mass make this city one huge mess. Road rage, traffic jam, polution, flood, and many more. 

Thankfully I still able to keep my mind sane, I could still control my wild emotion intact. I won't able to do it if I was alone, somehow I got surrounded by nice people, a rational one at least. Even though sometimes I felt lonely but at least I had someone who would lent their ears just to listen all of my complaints. Yeah, I'm grateful.

And you know, someone asked me out, to be honest it was somehow make me happy, but I still can't give up the feeling that I have for someone. Someone who somehow make me the me right now, yeah maybe she doesn't even realize it but I am not giving up. One of this day, when I already reach all of my goal, I will properly face her, but right now I'm focusing on my goal, may God bless me.

So if I need to summarize this one years, I would say, well yeah, it's a hellish road, it wasn't an easy one, many tears might have fall, many mistake that I have made, but also it full of unexpected events that can bring out my smile, yeah I'm happy to be survive, let keep up the good for more years that yet to come.