Sesaat dunia tampak gemerlap bak kembang api yang meledak di tengah gelap malam. Musik menderu-deru di antara riuh pikuknya sekumpulan manusia yang merayakan sebuah persatuan dua insan. Aku mencoba memasukan diriku dalam rimanya, tak cocok sungguh, apakah sebuah kesalahan aku datang? Tidak, aku tak menemukan satu alasanpun. Jika kuingat semua kembali, semua berawal dari undangan tersebut. Seketika terlintas sosoknya dalam pikiranku. Bukankah dia temannya pikirku. Terpiculah hasrat dalam diri untuk bertanya padanya, mungkin jadi kesempatanku untuk bertemu dengannya. Jangan, aku sudah pernah berjanji pada diri sendiri untuk mencoba melupakan rasa tersebut. Sayang hasratku yang menang atas logika. Namun sepertinya bukan jawaban positif yang kudapat. Sudah kuduga, tidak apa, lebih baik memang begitu.
Tak terasa seminggu sudah. Aku sudah mengurungkan niatku untuk berangkat. Seharian sudah aku meringkuk di kamarku, dengan dinginnya udara saat itu membuat pikiranku melayang kemana-mana. Orang rumah pun keluar, pergi ke jogja, tinggalah aku sendiri di rumah. Mencoba membaca untuk mengalihkan pikiranku, tapi rasa ini masih menggantung. Aku pun berharap, Ya Tuhan, jika Kau ingin pertemukan kami, pertemukanlah, jika tidak bantu aku mengalihkan pikiranku. Tak lama handphone ku berdering, terdapat notifikasi pesan masuk, seperti ada sumbu yang tersulut, perlahan namun pasti api tersebut menjalar dalam darahku. *Duar* benar saja, itu pesan darinya, bak kembang api yang meletup di tahun baru, perasaanku terasa meriah, sesaat aku merasakan kegembiran yang luar biasa, tanpa kusadari aku sudah bergegas menyiapkan pakaian yang akan kupakai dan sebagainya. Ya dia menanyakan apakah aku jadi berangkat. Niatan untuk tidak berangkat pun hilang sudah, sejujurnya aku malu untuk datang ke pesta tersebut, karena ya, aku masih menganggur, namun kupikir jika bisa bertemu dengannya, aku yakin, aku mampu menahan rasa itu.
Setelah letupan letupan itu hilang, munculah suatu pengalaman yang pernah aku alami. Aku menanyakan diriku, kenapa aku harus begitu gembira, bukankah semua cewek dulu juga begitu, memicu alarm palsumu, untuk sesaat membuatku merasa spesial dan dibutuhkan? Ya 30 menit kurang lebih euforia kembang api tersebut. Aku berpikir jika tanpa mobilku bagaimana aku bersamanya, sepertinya memang hanya alarm palsu, sejenak aku menenangkan batinku, membersihkan pikiranku. Apa kuurungkan saja niatku berangkat? Bukankah berarti aku akan melewatkan kesempatan untuk bertemu dia dan mereka. Bodohnya aku terbawa suasana sesaat, bukankah aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak merusak semuanya lagi. Perasaan itu akhirnya bisa kuredam, aku memang ingin bertemu dia dan mereka.
Jam menunjukan pukul 16.00, dan akupun berangkat. Sepanjang perjalanan kupikirkan pertanyaan macam apa yang akan kudapat, respon apa yang akan kuberi, seolah acara yang masih 3 jam lagi itu sudah kusimulasikan dalam pikiranku. Apa aku akan menggodanya nanti? Aku memikirkan banyak kata-kata untuk menggodanya, tapi apakah aku akan punya keberanian untuk mengucapkan hal tersebut, bahkan terakhir kali berdua saja pun, lidahku kelu. Tibalah aku di kos sahabatku, aku akan berangkat dari kosnya, karena dia dan sahabatku yang lain akan menggunakan kendaraan lain. Kos temanku saat itu terkunci tampaknya sedang keluar. Aku menghubunginya dan sahabatku memberi tahu kalau dia menyimpan kuncinya di suatu tempat. Kutemukan kunci tersebut, lalu aku masuk. Kulihat papan jadwalnya sudah putih bersih, ya, perjuangannya menyelesaikan perkuliahan sudah selesai, aku sendiri belum sempat mengucapkan selamat, karena aku telat mengetahuinya. Sahabatku akhirnya tiba, dia baru saja pulang mencari rumah duka temannya, yang ayahnya baru saja berpulang. Setelah sedikit mengobrol, kamipun bersiap-siap untuk berangkat.
Sepanjang perjalanan tiba-tiba rasa cemas, khawatir tak menentu itu datang lagi. Aku takut akan pesta, berdiri di tengah kerumunan banyak orang asing tak pernah membuatku nyaman, mungkin karena itu jugalah jika aku mengadakan pernikahan aku maunya di luar ruangan, supaya aku mempunyai ruang untuk bernafas. Pertanyaan teman-teman kuliahku membuatku ragu untuk datang, malu, ya itu kata yang tepat untuk mengucapkannya. Jalanan menuju tempat acara tersebut sangatlah ramai, mendadak tanganku terasa dingin dan pandanganku terhadap lampu-lampu kendaraan yang mengantri ke tempat acara menjadi kabur. Jika ada orang dekat yang melihatku dia pasti tahu aku sedang sangat cemas.
Setelah memarkirkan motorku, aku dan sahabatku berjalan masuk. Aku masih belum bisa menggoyahkan kekhawatiranku. Saat menulis daftar hadirpun tanganku gemetar, aku tarik nafas dalam-dalam dan coba melupakannya sejenak. Aku datang dengan sahabatku, aku tak sendiri, jadi tenang saja, aku harus bersikap santai sepertinya dan semua akan baik-baik saja. Saat melangkah masuk ke dalam ruangan, aula yang besar itu tampak mengecil dengan banyaknya tamu yang datang, berdesak-desakan kesana kemari. Aku membuang buang pandanganku untuk mencari orang yang bisa kusapa, untuk membuang nafas yang sepertinya tercegat di tenggorokanku. Untunglah seorang juniorku, menghampiri diriku dan sahabatku, aku jadi bisa sedikit bernafas lega dan mengalihkan pandanganku dari keramaian. Sesaat aku mengalihkan pandanganku aku melihat pacar sahabatku melambaikan tangan pada kami, aku memberi tahu sahabatku dan kami berjalan ke sana. Dia pun ternyata ada di sana dengan sahabatku yang lain, tiba-tiba otakku merespon untuk mengucapkan kata-kata yang sudah kusiapkan sepanjang jalan tadi, namun sepertinya lidahku menjadi sangat kaku, bahkan tanpa keramaian sekalipun aku tak yakin aku akan mampu berbicara, bahkan aku hanya berani memandangnya sesaat, payah sekali memang, tapi setiap kali aku mencuri pandanganku ke arahnya, batinku bergumam, cantik.
Saat kami bersalaman dengan temanku yang menikah, dia memberi tahukan untuk berfoto lagi dengan anak-anak elektro. Akupun mengiyakan, aku melihat antriannya tidak lama lagi, maka akupun menunggu di bawah panggung. Tibalah teman-teman elektroku berfoto, sungguh mau berapa kalipun difoto aku tak akan mampu untuk tersenyum, klo kupaksakan hanya senyum getir yang tampak, tapi akhirnya kupaksakan untuk tersenyum. Kamipun makan, beruntung aku sudah sedikit makan dari rumah, antrian yang begitu panjang membuatku semakin malas untuk mengambilnya. Akhirnya pertanyaan-pertanyaan yang sudah kusimulasikanpun terlontar dari teman-teman kampusku, kujawab saja semua apa adanya sesuai dengan yang kusimulasikan diselipi guyonan-guyonan untuk menutupi pergulatanku.
Malam semakin larut, aku masih belum bisa klik dengan suasana saat itu, aku seperti merasa aku berada tidak pada tempatnya. Aku mencoba mencari sosoknya lagi di tengah keramaian tersebut, namun aku tak mendapatinya, lagipula dia juga pasti sibuk dengan teman-teman kampusnya. Aku memberi tahu sahabatku, klo aku menunggu di luar saja. Benar-benar salah tempat, apakah aku kehilangan kebahagiaan yang dulu pernah akupunya, apakah semua perasaan bahagia itu memang seperti kembang api belaka, yang ledakan dan keindahannya hanya bisa kunikmati sejenak dan menghilang seketika dalam gelap malam. Menyisakan perasaan yang berharap lagi dan lagi. Ingin menghisap rokok rasanya, namun aku sudah berhenti dan berharap tidak merokok lagi, beruntunglah saat itu tak ada yang menawari rokok. Saatku menarik diri dari keramaian, saat itulah aku benar merasa betapa kecilnya diriku. Aku benar-benar sendiri, salah tempat rasanya, aku tak pernah pandai bergaul dengan orang lain, selama ini aku hanya terseret arus orang-orang yang berada disekitar ku. Namun ditengah-tengah arus tersebut lah aku menemukan mereka, kembang apiku, meskipun aku tahu, tak seberapa mereka peduli akan kehandiranku, bahkan tanggal ulang tahunku pun hanya seorang yang ingat, seorang yang aku sudah berhutang banyak padanya, seorang yang menyeretku dalam arus tersebut.
Tak mengapa, bukan tentang seperti apa mereka memandangku, atau seberapa besar kepedulian mereka padaku, yang penting adalah seberapa besar cintaku untuk mereka dan untuknya, bahkan jika harus menunggu setahun, duatahun, atau seratus tahun lamanya untuk merasakan kembang api tersebut, aku akan selalu menyaksikannya dengan penuh antusias. Hal itu pun menunjukan padaku betapa lemahnya diriku, untuk bisa bahagia aku harus bersama mereka, harus bergantung pada mereka, mungkin aku ingin seperti mereka, kuat seperti mereka, bijak seperti mereka, pintar seperti mereka, dan tertawa seperti mereka, karena itu aku berharap, benar-benar berharap, pekerjaan di Batam itu bisa kudapat sehingga aku bisa menjauh sejenak dari mereka, untuk menghilang kan canduku akan mereka, sehingga aku bisa menemukan apa yang kumau, yang kusayang, yang kusuka, yang kucinta dan siapa diriku, lalu suatu saat aku bisa berdiri sejajar dengan mereka dan mungkin aku bisa menjadi sosok pria yang pantas menurut Tuhan bagi dia. Karena itu aku akan tetap hidup dan berjuang.