Well, kalo disuruh mendeskripsikan cinta dan gunung, hmm. Orang-orang selalu berkata, menaklukan hati wanita itu seperti berusaha mendaki gunung. Mereka selalu bilang jika kita menyerah di tengah jalan, kita tidak akan pernah sadar betapa dekatnya kita dengan puncak. Honestly, I couldn't agree with that point of view.
Ya cinta itu seperti kita mendaki gunung. Aku mendaki gunung karena aku menyenangi keasrian alamnya dan berusaha untuk ikut menjaga keasrian tersebut dengan mengumpulkan sampah. Tapi apa yang dilakukan orang orang saat ini? Mereka yang membuang sampah di gunung adalah mereka yang tidak punya nurani.
Bagiku tidak semua gunung harus aku daki hingga ke puncak. Kadang aku berpikir, kenapa harus ngotot sampai ke puncak, apa yang kau cari, kepuasan, ego, kesombongan, pembuktian karakter? Well, semua itu bullshit, karena pada kenyataannya kau yang naik dan turun tidaklah ada bedanya. Mendaki gunung bagiku sebuah perjalan retret, akan kehidupanku, mencari tempat yang sunyi untuk berbicara denganNya. Membuatku menyadari realita dunia yang ada disekitarku. Ketika aku harus berhenti sebelum sampai puncak dan harus kembali turun, bagiku itu bukanlah sebuah kegagalan, itu adalah jawaban terhadap realita yang ada, bahwa persiapanku tidak matang.
Begitu juga cinta, ketika kau sudah berjuang dari awal, dan gagal di tengah jalan, kau tak perlu berkecil hati, kau bisa mencoba mendakinya lain hari. Namun untuk apa kau berjalan sampai atas? Bagiku menghabiskan waktu di bukit bukit kecil seperti Andong, Telomoyo, dan Sikunir lebih berharga dibandingkan aku harus naik Mahameru, karena bukit bukit kecil itulah yang membuatku nyaman untuk menikmati matahari terbit, teman menulis, atau sekedar menenangkan pikiran. Ingatlah menyerah disaat yang tepat bukanlah sebuah kegagalan, menyerah membuatmu menjadi pribadi yang lebih siap dan menunjukan padamu hal lain yang kamu lewatkan.
No comments:
Post a Comment