Tuesday, 28 April 2020

Tujuh Tahun Yang Lalu

Matahari pagi masuk melalui sela-sela jendela kamarku. Hangatnya menggugahku untuk segera membuka mata. Aku coba mengingat-ingat hari apa ini, kalau tidak salah nanti malam akan ada acara itu. Ya, sebuah acara yang dinantikan banyak orang termasuk teman-temanku.

"Woi, tidur mulu, mandi sana bangun.." Suara yang tak asing datang dari depan pintu kamarku.

"Sebentar, aku masih terlalu malas untuk bangun." Jawabku seraya membalikan badanku.

"Kamu ini, memangnya kamu sudah bikin surat buat si dia?" Aku masih tak bergeming, dia pun mulai masuk ke dalam kamarku dan duduk di atas kasurku. "Kau tahu, kesempatan seperti ini gak akan datang dua kali, kamu yakin gak mau buat?" 

Aku memalingkan wajahku ke arahnya. Kuperhatikan wajahnya dengan seksama, seperti orang yang menaruh harapan besar padaku. Aku paling lemah menghadapi orang seperti dia. Aku termasuk orang yang sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Jauh dari rumah dan sanak-saudara, membuatku sedikit merasa kesepian. Aku pernah membaca, salah satu cara untuk menarik perhatian banyak orang adalah dengan membuat/melakukan sesuatu di luar ekspektasi. 

Aku yang tidak pernah tertarik dengan hal-hal berbau romansa, mencoba untuk mengerti akan hal itu, lalu pikirku jika aku yang mempunyai image seperti ini berbuat sesuatu yang berbau romansa, pasti akan menjadi sebuah sorotan yang luar biasa. Ternyata benar saja, aku yang awalnya cuma iseng itu, ternyata benar-benar terbukti, sebenarnya aku tertarik dengan temannya, tapi karena aku tahu temannya itu menyenangi orang lain, dan impact yang akan diberikan sangat kecil, aku memutuskan menjadikannya sebagai bahan percobaan teoriku ini. 

Seiring berjalannya waktu, aku mengetahui ada orang lain yang juga mencintainya, yang benar-benar mencintainya, karena itu aku memutuskan untuk berhenti, karena tujuan yang aku cari itu sudah tercapai. Aku sudah punya banyak teman, semua orang mulai menilaiku sesuai dengan yang aku inginkan. Sesungguhnya aku merasa puas tapi, ada ketakutan dalam diriku, jika dia berpacaran dengan orang lain apakah image yang sudah susah payah kubangun itu akan hancur? Aku bertanya-tanya dalam diriku, sebenarnya apa yang aku mau. 

"Woi malah melamun, kau ini kebanyakan mikir.." Seruannya mengejutkanku.

"Tidak, aku tidak ada motivasi, kamu aja yang buat sana.." Aku mulai kembali memejamkan mataku.

"Hoo, awas aja nangis-nangis di depanku, kapan lagi ada kesempatan kayak gini.." Dia pun mulai melangkah keluar dari kamarku.

Sepertinya, aku tetap harus melakukannya ya, paling tidak untuk menutup teori percobaanku ini. Meskipun aku tahu dia sekarang sudah bersama yang lain, tapi aku harus bisa menanamkan image yang dalam di semua orang, lagipula aku tidak bisa mengecewakan orang yang percaya padaku.

Malam haripun tiba, aku tidak menyangka, ternyata yang datang malam itu sangat banyak. Seyakin-yakinnya akupun, tetap merasa ciut melihat orang yang hadir sebanyak ini. Setelah panitia membacakan surat-surat yang terbaik, acara dilanjutkan ke api unggun. 

"Aku tahu kamu sudah bikin surat itu, ayo mending sekalian sekarang kamu omongin, mumpung ada api unggun." Sobatku yang selalu saja secara tiba-tiba membisikan ide-ide jahat. Aku yakin sobatku sendiripun sebenarnya sudah tahu kalau dia sudah tidak sendiri lagi. Aku tidak dapat mengecewakan mereka, sekalipun aku sudah tahu jawabannya, malam ini aku harus menyelesaikan semuanya, karena bagaimanapun juga aku yang memulai.

Waktu terasa melambat, saat aku mulai melangkah maju ke tengah-tengah lingkaran, panasnya api unggunpun tidak terasa di dalam diriku, hanya dingin, dingin yang menusuk sampai ke tulang. Aku coba menarik napas, mencoba meraih sedikit kelegaan yang ada. Bayang-bayang akan apa yang terjadi setelah ini, seolah nampak dalam kilatan api unggun. Apakah keputusanku sudah tepat, bagaimana jika usaha yang sudah kubangun selama ini akan hancur seketika, aku lupa, ada banyak temanku di sana, apakah usahaku untuk mengenal mereka selama ini akan hancur, tapi sudah terlambat untuk mundur, opsiku hanya ada untuk maju, dan melihat segalanya sampai akhir, jika semua yang sudah kubangun itu hancur malam ini, berarti memang teori yang kubuat itu salah.

Begitu saja, kata demi kata terlontar dari mulutku, ditengah pekatnya malam, melawan rasa dingin, aku mengakhiri semuanya. Secarik kertas terbang dalam api, mengakhiri sebuah misi yang ku mulai sedari dulu. Akhirnya semua yang kutakutkan itu tidak pernah terjadi, semua yang kubangun susah payah itu tetap utuh, dan cerita yang aku bangun itu, menjadi legenda hidup tersendiri bagi mereka yang menyaksikan. Aku merasa lega.

Tujuh tahun setelah kejadian itu, aku mulai merasa jenuh dengan semuanya. Sepertinya caraku yang telah membangun relasi dengan memanipulasi orang lain itu, hanya menghasilkan relasi yang hambar. Aku tidak pernah mengenal teman-temanku, begitu pula mereka tidak pernah benar-benar mengenal aku. Saat ini aku hanya hidup dalam imagi diriku yang kubangun untuk mereka. Aku lelah, harus berpura-pura, sudah cukup bagiku bermain sebagai sahabat yang baik.

Friday, 24 April 2020

Hidup Dalam Pandemi

Sebuah wabah baru mengguncang dunia di tahun 2020 ini. Covid-19, begitu lembaga kesehatan dunia atau WHO menamainya, virus yang diduga berawal dari Wuhan, sebuah kota di China. Awalnya sama seperti masyarakat awam pada umumnya, aku hanya mengira, ini merupakan virus baru yang biasa saja, tapi ternyata tidak. Angka kematian yang tinggi, yang diberitakan media, baik dalam dan luar negeri yang terjadi di China, lalu menyebar ke asia timur, asia selatan, bahkan hingga eropa dan amerika. Data korban terus bertambah setiap hari, menyebabkan kepanikan dimana-mana. Alat kesehatan seperti masker dan hand sanitizer menjadi langka, bahkan alkohol sendiri pun hilang dari peredaran.

Aksi penimbunan yang dilakukan beberapa oknum masyarakat, sungguh memperburuk keadaan, ditambah respon pemerintah yang sangat lambat. Pemerintah selalu berkoar-koar baik media masa dan cetak, untuk masyarakat tidak menggunakan masker medis, namun sampai hari ini aku masih saja menemukan masker medis dijual belikan secara online, di group-group social media. Berbeda dengan masker, berbeda pula dengan peraturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), aturan ini seperti aturan karet, pemerintah tidak bersikap tegas sama sekali, dan cenderung acuh dengan kondisi masyarakat.

Sebenarnya ada kecemasan tersendiri dalam diriku. Aku tidak cemas, akan kesulitan pangan, yang aku cemaskan adalah kondisi sosial masyarakat pada umumnya. Tidak semua warga yang tinggal di Jakarta mempunyai penghasilan tetap tiap harinya, beberapa ada yang harus bekerja tiap hari hanya untuk makan hari itu saja. Belum lagi, gelombang phk, dan pemecatan, akibat imbas dari perusahaan yang merugi bahkan beberapa ada yang gulung tikar, semakin mencekik kondisi sosial masyarakat. Hal ini diperparah pula dengan dibebaskannya narapidana dari dalam lapas, tanpa adanya rehabilitasi yang jelas, semakin menambah beban pikiran masyarakat yang masih waras.

Aku benar-benar merasa pemerintah sudah sangat blunder dengan hal ini. Sekarang aturan yang melarang warga untuk keluar dari Jakarta, juga bukan jawaban yang tepat saat ini. Bayangkan, mereka yang hendak keluar dari Jakarta itu kebanyakan adalah mereka yang sudah mulai merasa kesulitan untuk tetap terus bertahan di Jakarta, terutama dari segi materi dan ekonomi. Lalu pemerintah hendak menahan mereka tetap di sini? Aku tidak dapat membayangkan apalagi yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya bisa berharap, aparat masih mampu bertindak tegas dalam menjaga ketertiban dan keamanan.

Hingga hari ini aku sudah kurang lebih tiga minggu bekerja dari rumah. Aku bersyukur karena tempatku bekerja tidak terdampak begitu besar dengan kejadian pandemi ini, tapi aku sadar, di luar sana banyak yang tidak seberuntung aku. Hari ini, hari awal puasa, dan perpanjangan masa PSBB selama satu bulan. Baru saja aku sembuh dari eksimku yang tetiba kumat, beruntung terakhir kali aku berobat dengan bpjs, obatnya tidak kuminum, dan ternyata bisa sembuh juga, tanpa perlu obat dari dokter spesialis. Aku sebenarnya juga kepikiran dengan kabar seputar temanku di Semarang, tapi aku yang sekarang sudah terlalu malas mengurusi hal seperti itu, maksudku, bukan aku tidak peduli, hanya saja, dia sudah dewasa, dia seharusnya sudah tahu hal terbaik yang seharusnya dia lakukan, sementara aku dan teman-temanku menurutku sudah memberikan bantuan yang terbaik yang bisa kami berikan, semoga saja dia tidak salah dalam melangkah. Aku hanya kasihan dengan orang tuanya, sungguh. 

Semakin sering di dalam rumah pun, sangat tidak sehat untuk pikiranku. Aku sangat rindu adekku, kedua orang tuaku, kakek, nenekku. Tiket yang sudah kubeli sampai harus cancel dua kalipun tidak sanggup membawaku pulang. Aku sebenarnya saat ini sangat benci berharap, tapi untuk satu ini, aku berharap Tuhan menjaga orang-orang yang kucintai dan kusayangi, karena bagiku, lebih baik diriku yang celaka, daripada mereka. Aku sangat benci pikiranku yang gelap ini, tapi aku juga sangat sayang, setidaknya pikiran ini yang mengingatkanku kalau aku masih manusia biasa.

Kali ini aku tidak akan membahas cinta dan romansa, karena dua rasa itu sudah kubunuh tahun lalu.