So, pagi ini, saya bakal menceritakan sebuah penelitian sosial yang saya lakukan tentang, pengaruh relasi sosial dengan pekerjaan. Well, saya kepikiran untuk melakukan penelitian setelah berbincang-bincang dengan teman saya yang bernama Christopher, tentang besarnya gaji, yang ideal untuk orang yang bekerja di Ibu Kota a.k.a Jakarta. Penelitian ini masih banyak kurangnya, baik dari segi alur pemikiran, penulisan, serta saya sendiri yang belum bekerja, namun rasa penasaran yang cukup tinggi akhirnya membuat hal ini, kan lumayan juga buat namba-nambah inspirasi, membuka wawasan, dan bahan belajar.
Sekarang, coba saya awali dulu sebuah permasalahan yang muncul ketika saya mengobrol dengan Christopher.
Apakah gaji 3,5 juta cukup di Jakarta?
Berporos pada pertanyaan itu, saya saat itu berpikiran, gaji tersebut cukup, baik untuk kost dan makan serta memenuhi kebutuhan hidup lainnya, mungkin hanya bisa menyisakan sedikit untuk tabungan. Terdengar rasional memang, dan saya yakin banyak yang setuju juga, tapi jawaban Christopher berikut ini membuat pemikiran saya terbuka, "Tidak cukup, ya cukup untuk hidup, memang, tapi gak baik, karena Jakarta itu terkenal dengan lifestylenya yang identik dengan hiburan yang tidak murah, dan kita tidak bisa lepas dari itu, klo kita gak ikut lifestyle lingkungan kerja kita, kita gak punya teman, sementara kita sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari kebutuhan itu."
Pasti banyak yang langsung ngomong, wah lifestyle itu gak penting. Anggap aja, rekan-rekan kantormu hobinya dugem, kamu tahu dugem itu gak murah, jadi kamu memilih tidak ikut, atau rekan-rekanmu hobinya makan di restoran yang agak mahal, sementara kamu memilih berhemat dan memutuskan tidak ikut. Ketahuan kan apa yang terjadi besoknya, akan ada percakapan yang kamu mugkin gak akan kamu pahami, dan jika itu terjadi terus menerus, bukan tidak mungkin kamu akan tersignifikasi sebagai pribadi yang anti sosial, lalu bagaimana jika sudah tersignifikasi tersebut, apakah setiap berangkat ke kantor kamu akan berangkat dengan perasaan senang? Memang ini salah satu contoh kasus yang paling ekstrim tapi bukan tidak mungkin bisa terjadi. Jadi klo menurut Christopher saat itu, dia gak seneng jalan-jalan ke mall, tapi yang buat dia seneng karena bareng-barengnya, atau mungkin juga ada orang yang hiburannya cuma butuh kopi sama rokok, jadi bebas mau ikut lifestyle apa gak, yang penting itu ada penyaluran stressnya. Lalu bagaimana dengan yang workaholic, atau orang yang bekerja memang di passionnya?
Berkaca pada sejatinya manusia itu makhluk sosial, jadi kebutuhan sosial itu sesuatu yang gak akan bisa dipisahkan dari pribadi manusia, oleh karena itu, mengingat lingkup kerja pegawai di Jakarta misalnya, yang rutinitasnya rumah-kantor-rumah, serta waktu sisa habis di jalan, dan di rumah cuma makan dan tidur, otomatis lingkungan sosial mereka yang paling intense adalah kantor. Sekalipun orang tersebut bekerja sesuai passionnya, akan ada satu titik dia merasa jenuh karena kebutuhan sosialnya tidak terpenuhi. Bisa dibayangkan sepassion apapun kita dengan pekerjaan kita, pressure dari atasan itu tetap gak ada bedanya, klo kita anti sosial, kita bakal rasanya ngehadapin pressure itu seorang sendiri, gak akan ada tuh, grup media sosial yang gak ada bossnya, yang ada malah, grup media sosial yang gak ada kamunya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, aku jadi teringat, betapa banyaknya tulisan-tulisan serta jurnal yang menceritakan tentang tingginya tingkat turn over pegawai di Indonesia. Hal itu juga ditambah dengan cuitan-cuitan kebanyakan pegawai yang menyebabkan turn over tersebut adalah orang yang capable dengan bidangnya dan berasal dari lulusan universitas yang terkenal tingkat intelegensinya. Belum lagi dengan maraknya karyawan berbondong-bondong pindah ke perusahaan yang sama. Fenomena-fenomena ini menarik pemikiran saya untuk mengetahui, hal apa sih yang sebenarnya membuat karyawan betah dengan pekerjaannya?
Kalau menurut Mangkunegara, (2007:14), kinerja karyawan dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni :
1. Faktor individual yang terdiri dari:
- Kemampuan dan keahlian
- Latar belakang
- Demografi
2. Faktor psikologis yang terdiri dari:
- Persepsi
- Attitude
- Personality
- Pembelajaran
- Motivasi
3. Faktor organisasi yang terdiri dari:
- Sumber daya
- Kepemimpinan
- Penghargaan
- Struktur
- Job design
1. Faktor individual yang terdiri dari:
- Kemampuan dan keahlian
- Latar belakang
- Demografi
2. Faktor psikologis yang terdiri dari:
- Persepsi
- Attitude
- Personality
- Pembelajaran
- Motivasi
3. Faktor organisasi yang terdiri dari:
- Sumber daya
- Kepemimpinan
- Penghargaan
- Struktur
- Job design
Berlandaskan pertanyaan dan pernyataan tersebut, saya mencoba melihat sedikit dari aspek individual dan psikologinya menggunakan sistem wawancara, terhadap 22 koresponden, yang semuanya berusia antara 23-27 tahun, dengan latar belakang pekerjaan ada yang BUMN dan swasta, serta ada 11 wanita dan 11 pria. Wawancara yang saya ajukan mempunyai premis dan pertanyaan sebagai berikut:
Misal ada 2 perusahaan:
Misal ada 2 perusahaan:
Perusahaan A: Kamu senang dengan pekerjaannya, tetapi relasi sosialmu kurang baik (gak klop / gak akrab dengan rekan kerjamu.
Perusahaan B: Kamu gak seneng pekerjaanya, tapi relasi sosialmu baik sama timmu.
Sementara faktor lain seperti, gaji, tekanan atasan, jenjang karir, dan lain-lain dianggap sama, kamu cenderung pilih perusahaan yang mana?
Narasumber saya adalah sebagai berikut:
A. Wanita:
1. Suzanna Betty Candrasari
2. Hayuning Santa Asisi
3. Theresia Pingkan Berlian
4. Febrina Sri Arta Sembiring
5. Deci Sebayang
6. Rani Monica Sembiring
7. Maria Oktavia
8. Clara Priscilla Sitohang
9. Maria Inka Risti
10. Monika Dyah Kumalasari
11. Tabita Nindya
B. Pria:
1. Ignasius Bryansetio
2. Vincensius Surya Buana
3. Fabianus Marintis
4. Tito Tuesnadi
5. Yulius Krisna Deva P
6. Ladislaus Risangpajar
7. Pandu Pantura
8. Felix Wahyu Utomo
9. Octavianus Bayu
10. Adrianus Kusprimadi
11. Alexander David Ardian Rama Koisin
Berdasarkan hal-hal tersebut di dapat data sebagai berikut:
Jumlah Wanita memilih A sebanyak = 5 orang.
Jumlah Pria memilih A sebanyak = 4 orang.
Jumlah Wanita memilih B sebanyak = 6 orang.
Jumlah Pria memilih B sebanyak = 7 orang.
Dengan demikian, karena koresponden yang saya ambil, mempunyai latar belakang sarjana Teknik Undip serta beragama Katolik, maka bisa saya tarik suatu kesimpulan sementara, bahwa mayoritas lulusan sarjana Teknik Undip dan Katolik mempunyai kecendrungan memilih premis B. Saya sendiri terkejut melihat hal ini, karena gak nyangka bakal banyak yang memilih opsi B. Saya sendiri memilih koresponden tersebut, selain karena faktor kedekatan, saya juga sedikit paham dengan sifat dan karakter mereka, serta bagaimana pendalaman mereka ketika mendapat pertanyaan tersebut. Jawabannya banyak yang diluar ekspektasi saya, mengingat bagaimana sifat dan karakter beberapa koresponden tersebut, dan jawabannya banyak banget yang membuka pemikiran saya, bagus-bagus. Berikut beberapa kutipan yang saya ambil:
"Kalau aku B, soalnya, kamu belum suka itu adalah variabel yang berubah yang masih bisa kamu kendalikan. Seiring jalannya waktu kalau memang bener-bener gak nyaman ya udah tinggalin, sedangkan Sosial itu variabel tetap."
"B, klo awalnya mungkin sulit buat yang udah tau passionnya di mana, klo kerja sesuai passion itu salah satu pencapaian atau kepuasan pribadi yang harus terpenuhi ya penuhin, klo gak anggap aja kuliah itu mmbentuk personalitas sama soft skill, nggak selalu tentang hard skill."
"Aku cenderung B, gak enak klo gak klop sama rekan kerja, sekalipun gak srek sama pekerjaannya, klo ada teman-teman jadi seru aja gak kerasa, klo kerja cuma diem aja, lama-lama ya pusing sendiri."
"B, relasi sosial penting, bisa ngurangi stress, ngurangi penat, kerja enjoy walaupun gak suka sama kerjaannya, klo relasi gak baik sama aja gak bisa nikmati pekerjaan."
"B, rekan kerja itu bagian dari pekerjaan, karena itu kerja tim, klo kerjaannya bikin seneng tapi timnya gak, itu bakal bikin kamu gak betah, dan ujungnya kerjaan kamu ikut terseret."
"B, Karena kerja beda sama ilmu (kuliah) itu bisa belajar. Kalau masalah relasi kalau udah gak klop ujung capek hati, lebih bahaya capek hati daripada capek fisik.
"A, karena kita masih muda, masih fresh dan idealis. Nuranimu akan bergejolak, ketika yang kamu kerjakan gak sesuai sama yang kamu pelajari di kampus, which is something you like. Jadi lingkungan yang nyaman itu justru bakal jadi penghambat, karena kita males ninggalin zona itu."
"A, karena klo senang dengan pekerjaanmu, kamu bisa enjoy dan kalau kamu enjoy dengan pekerjaan biasanya hasil kerjaan lebih maksimal daripada klo nggak enjoy sama pekerjaanmu, ikhlas soalnya."
"A, karena buat suka sama pekerjaan lebih sulit daripada akrab dengan orang lain."
"A, kalau gak seneng sama pekerjaan, performaku turun, performa turun, ujungnya teman dan tim kesel, karena dalam dunia profesional relasi kita dicerminkan dari performa kita, performa kita bagus pasti orang akan merapat dengan sendirinya."
"A, karena nyaman sama pekerjaan lebih penting, sekalipun relasinya gak akrab, lagipula di dunia kerja, akrab sama karyawan lain memang perlu, tapi gak sepenting zaman kuliah, di sini kompetisi lebih kerasa individu lebih terasa dari pada keterikatan sosial, selain itu perusahaan pasti cari orang yang gampang diajari, klo orang itu senang dengan pekerjaan itu, pasti juga gampang diajarinya."
"A, karena yang menggaji kita itu perusahaan, bukan rekan kerja."
Nah itu tadi di atas, kutipan-kutipan jawaban dari beberapa koresponden yang saya rasa cukup mewakili pemikiran banyak orang. Jadi di sini saya tidak ingin mengadu kedua argumen tersebut layaknya teori flat earth society dan round earth society. Saya hanya ingin mendapatkan masukan, seberapa vitalnya kah peran hubungan sosial dalam pekerjaan, dan menurut saya pribadi baik mengerjakan hal yang kita inginkan dan membangun relasi sosial itu sama pentingnya. Namun nampaknya masih banyak, perusahaan yang menyepelekan relasi sosial antar karyawannya, yang berujung pada besarnya turn over pegawai mereka. Hal ini tampak dari banyaknya koresponden yang memilih B. Mereka / para koresponden, adalah generasi-generasi milenial saat ini, yang dianggap sering berpindah-pindah pekerjaan, tapi jika saja suatu perusahaan bisa lebih memberikan perhatian terhadap hubungan sosial karyawannya, bukan tidak mungkin tingkat turn over pegawai pada perusahaan akan berkurang, karena yang mereka butuh kan mayoritas memilih tim yang solid dan akrab.
Lalu apa korelasinya dengan pertanyaan paling awal tadi?
Hahaha, pingin jawab ini tapi kesannya cocokologi banget, meskipun dari awalnya ya kesannya juga cocokologi banget, karena minimnya data, kurang dalamnya pembahasan, dan masih banyak lagi, membuat argumen ini sebenarnya sulit untuk di verifikasi dan di validasi. Jadi buat apa saya nulis ini, balik lagi di awal sudah saya jelaskan, untuk memenuhi batiniah saya yang penasaran dan mungkin juga bisa jadi bahan refleksi serta pelajaran. So, hubungannya dengan gaji tadi, klo saya menyimpulkan setelah menimbang pembahasan yang saya buat jawabannya, yes, tidak cukup, karena mengikuti lifestyle dalam suatu tim, merupakan cara paling mudah untuk membangun relasi sosial. Hal ini juga menjadi garis bawah, bahwa baik lifestyle, relasi sosial, dan pekerjaan itu mempunyai hubungan yang saling tegak lurus dan tidak bisa dipisahkan.
Sekian penjabaran permasalahan ini dari saya, semoga bermanfaat, dan jika ada yang ingin memperbaiki, sangat disarankan. Bisa dilakukan penelitian lebih dalam dengan menggunakan parameter lingkungan kerja, budaya perusahaan, latar belakang pendidikan, agama dan suku yang lebih variatif lagi, masih banyak dah pokoknya yang dijadikan parameter untuk hasil yang lebih valid, dan terima kasih sudah berkunjung.
No comments:
Post a Comment