Tuesday, 19 June 2018

Immortal Knight II

Now, the knight still striving in his journey. After beating down one hell of enemy, now he is drafting again in some far land. It's like everything back to what it used to be. Right now he's focusing beating his own demon. He fight for some glory over himself. and yet, he failed, he failed, and failed again.

He take some break, to take some fresh wind. Than his mind taking his soul drafting in some lost memories. He thinking back all of his comrades that taken him this far, and about certain someone. She who always elegantly fighting in the frontline, never even one he saw her cried, she who give inspire to him. Every time he getting into trouble, she always there, and her honest word really moved his heart. Not even single words from her, he forgot, it's like a sound in his soul that always guide him to be a proper knight.

So once again, he set his eyes over her. Step by step he took the road that will leading him toward her. Yeah, she still as beauty as ever, as brave as ever, and of course she always have that cute side of her, that can made his heart skip a beat. He start to thinking, can I be stay beside her? I don't need some great princess, as long as I can always be with her, I will made her the Queen of my life. Like the old days, he always find a way to be together with her. The old days are the worse for him, she always belong to someone else, every time he tried to close to her. He thought, this might be difficult, he don't know, how she handle her past, but he remembered something she used to say to him, if you already giving all what you can give for someone, but they're never grateful of it, than its their loses not me, and it's the fact that they are a fool, and she hate the fool.

That word not just encouraging him, but it give him a burden as well, because he know, deep inside he still such a big fool, who can't even beat his own demon. He still have decision clouded by his personal feeling, because he is a fool who always believe to follow what his heart said to him, over a logical thing. What a foolish knight he really is.

After all, that doesn't matter for him. He promised himself, he will become a knight worthy being on her side, while he doing anything to help her overcome the trouble that might show up in her journey. His heart already deciding that she is worthy enough of his service. He prepared to sacrifice everything even if it's his own heart or life, because all he needed is her biggest smile. 

To You

When the day seem so bad
Remember that I watched your back
Even when my hand unable to reach
My prayers will backing up your feet

Even, I don't know what love really is
But I know that what I feel is real
Like the flower in the yard
Your honest word, lit up my heart

You know, sometime I'm so stupid
So reckless and so naive
But you always there for me
To tell me it's just another part of life

I hope you got the best in life
In love and in everything
I know your heart deserve the best
That I don't think it was in me

I need more than just a mere luck
To be your everything
I will strive to be the best for you
Even if I have to die for it

It still need quite sometime
I prayed that fate help me
To give strength to your faith
That I will be your eternal love

Wednesday, 6 June 2018

Losing Out Some Steam

Why, every time I love someone, it's like there's a glitch in my brain that made me do or said mean thing to her, and the moment I do it, my brain like screaming out "why you have to said that, where did all that preparation talk gone!!".

Why, can't I just said I love her, not denying it a lot, and avoiding all the questions, or showing that I actually care like a normal person would do. Oh, God, I think there's something wrong in my personality, like a bug or something, that made me unable to expressing my soft or sweet side rather overcompensated it with toughness and indifference. Huhh.. really pathetic.

Tuesday, 5 June 2018

Relasi Hubungan Sosial, Lifestyle, dan Pekerjaan

So, pagi ini, saya bakal menceritakan sebuah penelitian sosial yang saya lakukan tentang, pengaruh relasi sosial dengan pekerjaan. Well, saya kepikiran untuk melakukan penelitian setelah berbincang-bincang dengan teman saya yang bernama Christopher, tentang besarnya gaji, yang ideal untuk orang yang bekerja di Ibu Kota a.k.a Jakarta. Penelitian ini masih banyak kurangnya, baik dari segi alur pemikiran, penulisan, serta saya sendiri yang belum bekerja, namun rasa penasaran yang cukup tinggi akhirnya membuat hal ini, kan lumayan juga buat namba-nambah inspirasi, membuka wawasan, dan bahan belajar.

Sekarang, coba saya awali dulu sebuah permasalahan yang muncul ketika saya mengobrol dengan Christopher.

Apakah gaji 3,5 juta cukup di Jakarta?

Berporos pada pertanyaan itu, saya saat itu berpikiran, gaji tersebut cukup, baik untuk kost dan makan serta memenuhi kebutuhan hidup lainnya, mungkin hanya bisa menyisakan sedikit untuk tabungan. Terdengar rasional memang, dan saya yakin banyak yang setuju juga, tapi jawaban Christopher berikut ini membuat pemikiran saya terbuka, "Tidak cukup, ya cukup untuk hidup, memang, tapi gak baik, karena Jakarta itu terkenal dengan lifestylenya yang identik dengan hiburan yang tidak murah, dan kita tidak bisa lepas dari itu, klo kita gak ikut lifestyle lingkungan kerja kita, kita gak punya teman, sementara kita sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari kebutuhan itu."

Pasti banyak yang langsung ngomong, wah lifestyle itu gak penting. Anggap aja, rekan-rekan kantormu hobinya dugem, kamu tahu dugem itu gak murah, jadi kamu memilih tidak ikut, atau rekan-rekanmu hobinya makan di restoran yang agak mahal, sementara kamu memilih berhemat dan memutuskan tidak ikut. Ketahuan kan apa yang terjadi besoknya, akan ada percakapan yang kamu mugkin gak akan kamu pahami, dan jika itu terjadi terus menerus, bukan tidak mungkin kamu akan tersignifikasi sebagai pribadi yang anti sosial, lalu bagaimana jika sudah tersignifikasi tersebut, apakah setiap berangkat ke kantor kamu akan berangkat dengan perasaan senang? Memang ini salah satu contoh kasus yang paling ekstrim tapi bukan tidak mungkin bisa terjadi. Jadi klo menurut Christopher saat itu, dia gak seneng jalan-jalan ke mall, tapi yang buat dia seneng karena bareng-barengnya, atau mungkin juga ada orang yang hiburannya cuma butuh kopi sama rokok, jadi bebas mau ikut lifestyle apa gak, yang penting itu ada penyaluran stressnya. Lalu bagaimana dengan yang workaholic, atau orang yang bekerja memang di passionnya?

Berkaca pada sejatinya manusia itu makhluk sosial, jadi kebutuhan sosial itu sesuatu yang gak akan bisa dipisahkan dari pribadi manusia, oleh karena itu, mengingat lingkup kerja pegawai di Jakarta misalnya, yang rutinitasnya rumah-kantor-rumah, serta waktu sisa habis di jalan, dan di rumah cuma makan dan tidur, otomatis lingkungan sosial mereka yang paling intense adalah kantor. Sekalipun orang tersebut bekerja sesuai passionnya, akan ada satu titik dia merasa jenuh karena kebutuhan sosialnya tidak terpenuhi. Bisa dibayangkan sepassion apapun kita dengan pekerjaan kita, pressure dari atasan itu tetap gak ada bedanya, klo kita anti sosial, kita bakal rasanya ngehadapin pressure itu seorang sendiri, gak akan ada tuh, grup media sosial yang gak ada bossnya, yang ada malah, grup media sosial yang gak ada kamunya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, aku jadi teringat, betapa banyaknya tulisan-tulisan serta jurnal yang menceritakan tentang tingginya tingkat turn over pegawai di Indonesia. Hal itu juga ditambah dengan cuitan-cuitan kebanyakan pegawai yang menyebabkan turn over tersebut adalah orang yang capable dengan bidangnya dan berasal dari lulusan universitas yang terkenal tingkat intelegensinya. Belum lagi dengan maraknya karyawan berbondong-bondong pindah ke perusahaan yang sama. Fenomena-fenomena ini menarik pemikiran saya untuk mengetahui, hal apa sih yang sebenarnya membuat karyawan betah dengan pekerjaannya?

Kalau menurut Mangkunegara, (2007:14), kinerja karyawan dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni :
1. Faktor individual yang terdiri dari:
- Kemampuan dan keahlian
- Latar belakang
- Demografi
 2. Faktor psikologis yang terdiri dari:
 - Persepsi
 - Attitude
 - Personality
 - Pembelajaran
 - Motivasi
 3. Faktor organisasi yang terdiri dari:
 - Sumber daya
 - Kepemimpinan
 - Penghargaan
 - Struktur
 - Job design

Berlandaskan pertanyaan dan pernyataan tersebut, saya mencoba melihat sedikit dari aspek individual dan psikologinya menggunakan sistem wawancara, terhadap 22 koresponden, yang semuanya berusia antara 23-27 tahun, dengan latar belakang pekerjaan ada yang BUMN dan swasta, serta ada 11 wanita dan 11 pria. Wawancara yang saya ajukan mempunyai premis dan pertanyaan sebagai berikut:

Misal ada 2 perusahaan:

Perusahaan A: Kamu senang dengan pekerjaannya, tetapi relasi sosialmu kurang baik (gak klop / gak akrab dengan rekan kerjamu.
Perusahaan B: Kamu gak seneng pekerjaanya, tapi relasi sosialmu baik sama timmu. 

Sementara faktor lain seperti, gaji, tekanan atasan, jenjang karir, dan lain-lain dianggap sama, kamu cenderung pilih perusahaan yang mana?

Narasumber saya adalah sebagai berikut:
A. Wanita:
    1. Suzanna Betty Candrasari
    2. Hayuning Santa Asisi
    3. Theresia Pingkan Berlian
    4. Febrina Sri Arta Sembiring
    5. Deci Sebayang
    6. Rani Monica Sembiring
    7. Maria Oktavia
    8. Clara Priscilla Sitohang
    9. Maria Inka Risti
    10. Monika Dyah Kumalasari
    11. Tabita Nindya

B. Pria:
    1. Ignasius Bryansetio
    2. Vincensius Surya Buana
    3. Fabianus Marintis
    4. Tito Tuesnadi
    5. Yulius Krisna Deva P
    6. Ladislaus Risangpajar
    7. Pandu Pantura
    8. Felix Wahyu Utomo
    9. Octavianus Bayu
    10. Adrianus Kusprimadi
    11. Alexander David Ardian Rama Koisin

Berdasarkan hal-hal tersebut di dapat data sebagai berikut:

Jumlah Wanita memilih A sebanyak = 5 orang.
Jumlah Pria memilih A sebanyak = 4 orang.
Jumlah Wanita memilih B sebanyak = 6 orang.
Jumlah Pria memilih B sebanyak = 7 orang.

Dengan demikian, karena koresponden yang saya ambil, mempunyai latar belakang sarjana Teknik Undip serta beragama Katolik, maka bisa saya tarik suatu kesimpulan sementara, bahwa mayoritas lulusan sarjana Teknik Undip dan Katolik mempunyai kecendrungan memilih premis B. Saya sendiri terkejut melihat hal ini, karena gak nyangka bakal banyak yang memilih opsi B. Saya sendiri memilih koresponden tersebut, selain karena faktor kedekatan, saya juga sedikit paham dengan sifat dan karakter mereka, serta bagaimana pendalaman mereka ketika mendapat pertanyaan tersebut. Jawabannya banyak yang diluar ekspektasi saya, mengingat bagaimana sifat dan karakter beberapa koresponden tersebut, dan jawabannya banyak banget yang membuka pemikiran saya, bagus-bagus. Berikut beberapa kutipan yang saya ambil:

"Kalau aku B, soalnya, kamu belum suka itu adalah variabel yang berubah yang masih bisa kamu kendalikan. Seiring jalannya waktu kalau memang bener-bener gak nyaman ya udah tinggalin, sedangkan Sosial itu variabel tetap."

"B, klo awalnya mungkin sulit buat yang udah tau passionnya di mana, klo kerja sesuai passion itu salah satu pencapaian atau kepuasan pribadi yang harus terpenuhi ya penuhin, klo gak anggap aja kuliah itu mmbentuk personalitas sama soft skill, nggak selalu tentang hard skill."

"Aku cenderung B, gak enak klo gak klop sama rekan kerja, sekalipun gak srek sama pekerjaannya, klo ada teman-teman jadi seru aja gak kerasa, klo kerja cuma diem aja, lama-lama ya pusing sendiri."

"B, relasi sosial penting, bisa ngurangi stress, ngurangi penat, kerja enjoy walaupun gak suka sama kerjaannya, klo relasi gak baik sama aja gak bisa nikmati pekerjaan."

"B, rekan kerja itu bagian dari pekerjaan, karena itu kerja tim, klo kerjaannya bikin seneng tapi timnya gak, itu bakal bikin kamu gak betah, dan ujungnya kerjaan kamu ikut terseret."

"B, Karena kerja beda sama ilmu (kuliah) itu bisa belajar. Kalau masalah relasi kalau udah gak klop ujung capek hati, lebih bahaya capek hati daripada capek fisik.

"A, karena kita masih muda, masih fresh dan idealis. Nuranimu akan bergejolak, ketika yang kamu kerjakan gak sesuai sama yang kamu pelajari di kampus, which is something you like. Jadi lingkungan yang nyaman itu justru bakal jadi penghambat, karena kita males ninggalin zona itu."

"A, karena klo senang dengan pekerjaanmu, kamu bisa enjoy dan kalau kamu enjoy dengan pekerjaan biasanya hasil kerjaan lebih maksimal daripada klo nggak enjoy sama pekerjaanmu, ikhlas soalnya."

"A, karena buat suka sama pekerjaan lebih sulit daripada akrab dengan orang lain."

"A, kalau gak seneng sama pekerjaan, performaku turun, performa turun, ujungnya teman dan tim kesel, karena dalam dunia profesional relasi kita dicerminkan dari performa kita, performa kita bagus pasti orang akan merapat dengan sendirinya."

"A, karena nyaman sama pekerjaan lebih penting, sekalipun relasinya gak akrab, lagipula di dunia kerja, akrab sama karyawan lain memang perlu, tapi gak sepenting zaman kuliah, di sini kompetisi lebih kerasa individu lebih terasa dari pada keterikatan sosial, selain itu perusahaan pasti cari orang yang gampang diajari, klo orang itu senang dengan pekerjaan itu, pasti juga gampang diajarinya."

"A, karena yang menggaji kita itu perusahaan, bukan rekan kerja."

Nah itu tadi di atas, kutipan-kutipan jawaban dari beberapa koresponden yang saya rasa cukup mewakili pemikiran banyak orang. Jadi di sini saya tidak ingin mengadu kedua argumen tersebut layaknya teori flat earth society dan round earth society. Saya hanya ingin mendapatkan masukan, seberapa vitalnya kah peran hubungan sosial dalam pekerjaan, dan menurut saya pribadi baik mengerjakan hal yang kita inginkan dan membangun relasi sosial itu sama pentingnya. Namun nampaknya masih banyak, perusahaan yang menyepelekan relasi sosial antar karyawannya, yang berujung pada besarnya turn over pegawai mereka. Hal ini tampak dari banyaknya koresponden yang memilih B. Mereka / para koresponden, adalah generasi-generasi milenial saat ini, yang dianggap sering berpindah-pindah pekerjaan, tapi jika saja suatu perusahaan bisa lebih memberikan perhatian terhadap hubungan sosial karyawannya, bukan tidak mungkin tingkat turn over pegawai pada perusahaan akan berkurang, karena yang mereka butuh kan mayoritas memilih tim yang solid dan akrab.

Lalu apa korelasinya dengan pertanyaan paling awal tadi?

Hahaha, pingin jawab ini tapi kesannya cocokologi banget, meskipun dari awalnya ya kesannya juga cocokologi banget, karena minimnya data, kurang dalamnya pembahasan, dan masih banyak lagi, membuat  argumen ini sebenarnya sulit untuk di verifikasi dan di validasi. Jadi buat apa saya nulis ini, balik lagi di awal sudah saya jelaskan, untuk memenuhi batiniah saya yang penasaran dan mungkin juga bisa jadi bahan refleksi serta pelajaran. So, hubungannya dengan gaji tadi, klo saya menyimpulkan setelah menimbang pembahasan yang saya buat jawabannya, yes, tidak cukup, karena mengikuti lifestyle dalam suatu tim, merupakan cara paling mudah untuk membangun relasi sosial. Hal ini juga menjadi garis bawah, bahwa baik lifestyle, relasi sosial, dan pekerjaan itu mempunyai hubungan yang saling tegak lurus dan tidak bisa dipisahkan.

Sekian penjabaran permasalahan ini dari saya, semoga bermanfaat, dan jika ada yang ingin memperbaiki, sangat disarankan. Bisa dilakukan penelitian lebih dalam dengan menggunakan parameter lingkungan kerja, budaya perusahaan, latar belakang pendidikan, agama dan suku yang lebih variatif lagi, masih banyak dah pokoknya yang dijadikan parameter untuk hasil yang lebih valid, dan terima kasih sudah berkunjung.







Saturday, 2 June 2018

Harapan (Flash Fiction)

"Ayo kita berlomba 2 putaran.." Dia tampak bersemangat sekali, layaknya ksatria kuterima tantangan tersebut. Air kolam yang terasa sejuk, menjadi ciri khas tempat ini. Kami dengan penuh semangat menyibak air demi air, mengayuh diri kami untuk tiba lebih dahulu di tujuan.

"Yes, aku menang!" Wajahnya berseri seri layaknya anak kecil.

"Yup, sejak kuliah pun aku tak pernah bisa menang dari dirimu." Kubalas ucapannya seraya, mengangkat diriku dari kolam.

"Hahaha, tapi jika kita berenang lebih lama lagi, aku tak akan mampu menandingi tenaga dan stamina itu." Tampaknya dia berupaya merendah. Aku menarik diriku dari pinggir kolam, menuju tenda kecil tempat kami meletakan barang kami. Aku merogoh tasku mengambil handphone ku. Hingga tiba-tiba sebuah pesan mengejutkan tampak di sana.

"Hei, ada apa?" Sepertinya rawut wajahku dapat dilihatnya dengan jelas. Aku tunjukan pesan tersebut kepadanya. "Lalu, bagaimana?" Dia lanjut bertanya.

"Entahlah, saat ku kira aku bisa bertemu dengannya lagi." Terdapat sedikit rasa kecewa yang tidak dapat kusembunyikan dibalik ucapan dan raut wajahku. Kuambil handuk dalam tasku untuk menutupi semua rasa kecewa tersebut.

"Halah... Kamu seperti itu terus, makanya kamu gak pernah maju.." ucapnya seraya merebut handuk tersebut. Seketika itu juga hangat dan terangnya matahari menerpa wajahku. "Dia sedang kesulitan kau malah bersikap seperti ini, beranilah barang sekali, telpon dia, tanyakan kabarnya." Dia memerintahku lagi.

Aku meraih kembali handphoneku, bukannya menelpon, aku mengiriminya pesan. "Ya, Tuhan, kuminta kau menelponnya, malah menulis pesan." Terlihat wajahnya yang seperti tidak menyangka sikapku yang seperti itu. "Kau seperti baru mengenalku kemarin saja."

Setelah beberapa kali berbalas pesan, aku mengalami kebingungan, apa yang akan kuperbuat sekarang. Ada dorongan dalam dari hati untuk bertemu, tapi rasanya jarak yang terlalu jauh nampak seperti tidak mungkin. Seolah-olah Dia tidak memperkenankan kami untuk bertemu.

"Kau ingin menyusulnya?" Suaranya menyadarkanku dari lamunan.

"Ya, ingin sekali, tetapi sini ke sana tidaklah dekat."

"Baiklah, aku belikan tiket bagimu untuk ke sana, besok malam, ya?" Aku terkejut mendengar ucapan itu. "Jangan, tiketnya kan tidak murah, aku tak mau merepotkan orang.." jawabku.

"Tenang, aku dapat bonus, bukan duitku, sekarang tinggal kamu, mau apa gak." Aku berpikir sejenak, memikirkan apa yang harus kuperbuat, apa yang akan ditanyakannya nanti jika kususul ke sana, lalu bagaimana pula orang tuaku. Kusampaikan semua hal itu padanya.

"Dasar, kamu ini emang kebanyakan mikir dari dulu, gerak dulu aja, pikir belakangan, dah ya, ku pesankan ya." Begitulah akhirnya, bagaimana aku berada di kereta ini. Melewati desa demi desa, sawah demi sawah, sebuah peradaban manusia yang sudah lama tidak aku saksikan.

Kereta yang berjalan teratur serta dentuman besi yang beradu antara rel dengan ban, membentuk suatu keteraturan irama, layaknya roda kehidupan yang teratur terus berputar dengan lika-liku dan nyanyiannya. Begitu pula seperti sudah teratur sebelumnya, bencana pun bisa datang seketika. Bencana hadir di antara jalanku menuju ke sana. Apakah harus mundur setelah pergi sejauh ini? Enggan rasanya hati untuk menyerah, entah apakah ini bentuk ujianMu, atau caraMu untuk memintaku mundur, aku sudah lelah menyerahkan nasib pada roda takdir, selama ada sedikit harapan, aku akan tetap maju, layaknya kereta yang tidak pernah mundur.

Hype!

Payah, gak bisa move on gini dari mereka. Cinta dan sayang bangetlah sama mereka. Kemarin kemarin kayaknya hidup terlalu monoton dan gak ada gairah sama sekali.

Makasih banget sama Risang sih, yang udah sponsorin tiket kereta, klo gak, gak mungkin ketemu mereka ini. Sekedar ketemu, ngobrol dan mengetahui kabar mereka baik-baik saja sudah menyenangkan. Bener bener bersyukur dah.

Hati kecilku bener bener berharap, kumpul gini bisa lama dan gak berakhir, tapi ya aku sadar, itu gak mungkin, kita masing-masing punya tujuan yang kita ingin capai masing-masing,  dan aku selalu berdoa kita semua sampai di tujuan masing-masing. Paling gak bisa kumpul lagi full team sama mereka semua. Bebas dah mau ngapain yang penting kumpul aja. Bersyukur banget ketemu mereka di tengah lautan manusia yang luas ini.

Haah.. Thanks God, protect them all and their beloved persons, their dreams, their faith, and their hopes, when I'm not around to protect them all with my hand, please lend them your helping hand. 🙏