Tuesday, 17 April 2018

Belum Ada Judul CH6

"Ehem, tidak usah kau ceritakan yang tidak tidak padanya Eli." Suara dari arah pintu tersebut terdengar tidak asing lagi bagiku. Saat aku membalikan badanku ke arah pintu, benar saja, kedua orang tuaku berdiri di sana.

"Hoo, ada apa Peter, bukan kah sudah kewajibanku mengajarkan muridku apa yang tidak diketahuinya." Ibu Eli melirik kepadaku. "Bukankah itu alasan kalian menyekolahkannya kemari?"

"Sebenarnya, bukan keinginanku menyekolahkannya kemari, hanya saja, ini permintaan dari ayahku."

"Baiklah, jika itu keinginanmu Peter, tapi kau tahu benar sekolah ini kan?"

"Ya tentu saja, hanya tolong, biarkan dia bertindak seperti anak biasanya."

"Seperti anak biasanya Peter?? Tidakkah kau sadar, menitipkannya pada Ayahmu dan melakukan homeschooling sungguh bukan hal yang biasa."

"Kami melakukan yang terbaik untuk anak kami Eli." Ibuku yang semenjak tadi diam tiba tiba menyuarakan pendapatnya. "Roi, bukankah kau seharusnya menyiapkan ruanganmu?" Ibuku sepertinya memintaku untuk meninggalkan ruangan ini.

"Baiklah bu, klo begitu aku pamit dulu Bu Eli."

"Silahkan Roi, masih banyak hal yang ingin kubicarakan dengan kedua orang tuamu ini."

Aku berjalan meninggalkan ruangan, sebelum aku melangkah keluar, aku merasa ada benda yang dilempar ke arahku. Aku mengalihkan pandanganku dan menangkap benda tersebut.

"Tangkapan yang bagus Roi, jangan lupa ambil barang-barangmu di bagasi mobil. Mobilnya kuparkir di parkir Timur."

"Kau tahu itu tadi berbahaya Yah, gimana klo kunci ini mengenai wajahku!"

"Tidak mungkin itu terjadi, aku percaya kau pasti mampu menangkapnya."

"Baiklah aku pergi dulu Yah."

Mana ada orang tua melempar kunci dengan niat membunuh seperti itu, jika bukan karena hasil latihanku bersama kakek, aku pasti tak akan mampu menangkapnya. Mengingat apa yang dikatakan Bu Eli tadi, dia sepertinya mengetahui banyak hal tentang diriku, tinggal bersama kakekku memanglah tidak biasa. Setiap hari aku harus belajar, latihan fisik, dan berlatih bela diri. Menurut beliau seorang pria harus kuat sehingga mampu melindungi apa yang berharga bagi dirinya.
Tibalah, aku di area parkir, aku menyusuri area parkir yang luas itu. Kutemukan mobilku van ku di sana, kuambil semua tas-tas ku. Aku tak perlu membawa perlengkapan lainnya, karena saat pendaftaran ulang, aku diberi tahu bahwa semuanya sudah ada di asrama, dari komputer, alat tulis, dan lain lain. Aku melihat kartu siswa ku, di sana tertulis asramaku, Spadona, nama macam apa itu pikirku.

Aku mendekat pada papan penunjuk arah, untuk mencari letak asramaku. Ternyata letaknya sekitar 1 km dari posisiku saat ini. Aku berjalan menyusuri lingkungan sekolah tersebut, kulewati beberapa gedung besar, lapangan basket, tenis, serta terdapat beberapa taman. Aku pun tiba di sebuah gerbang, tertulis "SPADONA" di atasnya. Ku lihat ada sebuah Rumah yang cukup besar dan megah, apakah itu asramaku? Aku masuk melalui gerbang tersebut.

"Hai, siapa di sana?" Terdengar suara orang datang dari kananku. Aku melihat ke arah suara orang tersebut. Kudapati seorang pria paruh baya sedang menyapu taman di rumah tersebut.

"Maaf pak, saya murid baru di sini, di kartu siswa ini tertulis, saya bagian dari asrama Spadona, apa benar ini tempatnya?"

Pria tersebut berjalan mendekatiku, sekarang dapat dengan jelas wajahnya, mukanya sangat kusam, matanya yang tajam seolah ingin membunuhku, rambutnya yang berantakan serta kulihat ada beberapa bekas luka di lehernya. Apakah dia bekas penjahat pikirku.

"Sepertinya kau memang penghuni asrama ini. Kuucapkan selamat datang, dan semoga kau menyukai upacara penyambutannya."

"Upacara sambutan seperti apa?"

"Aku tak ingin menghilangkan efek kejutannya."

Kulihat dia tersenyum, dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku mulai melangkah menuju ke depan pintu rumah tersebut. Aku masih penasaran dengan ucapan bapak tadi, tapi yasudah, aku mulai mengetuk pintu tersebut, dan seketika pintu terbuka, kulihat seorang wanita membuka pintu tersebut.

(-cont)

Belum Ada Judul CH5

Setelah bertanya kesana kemari, tibalah aku di depan ruang guru. Ruangannya memakan hampir seluruh lantai 3, tak bisa kubayangkan seperti apa besarnya. Aku mulai mengetuk pintu dan masuk ke dalam.

Terlihat banyak sekali ruangan yang dibatasi sekat sekat. Tampak beberapa papan nama tepasang di masing masing pintu. Pasti ini ruangan guru di sini. Lalu mataku langsung tertuju pada ruangan yang terletak di pojok. Melihat dari ukurannya yang lebih besar dari ruangan lain, sudah jelas ini ruang kepala sekolah. Tampak sebuah nama terpasang di pintu tersebut, Elizabeth Ruwinda. Aku mulai mengetuk pintu tersebut, lalu masuk.

"Permisi." Kataku seraya memasuki ruangan.

"Lama sekali kamu Roi."

"Maaf bu, saya masih belum tahu letak letak ruangan di sekolah ini."

"Ya, tidak apa, tak usah tegang Roi, duduklah."

Beliau mempersilahkanku duduk di sofa, depan meja kerjanya. Sepintas ku memandangi ruangan tersebut. Ruangan yang cukup luas, dengan banyak rak rak berisi buku buku, serta beberapa ornamen serta lukisan yang menghiasi dinding ruangan tersebut. Pandanganku seketika tertuju pada sebuah foto besar yang terletak di tembok belakang meja kerja ibu Eli, di dalamnya terdapat banyak sekali orang, dan aku seperti melihat wajah-wajah yang tak asing di sana.

"Sepertinya kau tertarik sekali dengan foro tersebut Roi."

"Iya bu, sekilas saya seperti mengenal sosok yang ada di sebelah ibu Eli, apakah mereka teman dan guru-guru ibu dulu?"

"Hahaha, jelaslah kau kenal akan mereka, yang sebelah kiriku adalah kakekmu, dan yang berada di kananku adalah ayah dan ibumu."

Mendengar hal tersebut aku sedikit terkejut.
"Jadi, ibu teman seangkatan orang tuaku?"

"Tidak, lebih tepatnya, ibu wali kelas mereka." Jawabnya seraya tersenyum kepadaku.
Aku sendiri sangat terkejut mendengar hal itu. Bagaimanapun orang yang mengetahui hal tersebut pasti akan terkejut, melihat wanita yang masih muda dan cantik ini lebih tua dari kedua orang tuaku.

"Sebenarnya aku sedikit terkejut bu, tapi kejadian upacara tadi membuatku tidak begitu heran lagi."

"Bagaimana, kau bisa begitu terkejut, ketika keluargamu jauh lebih spesial."

"Aku tak sepenuhnya memahami maksud ibu."

"Hmm, sepertinya mereka tidak pernah menceritakan apapun padamu ya."

"Cerita tentang apa? Klo boleh tau keperluan apa ibu memanggil saya kemari?"

Kulihat ibu Eli beranjak dari tempat duduknya, beranjak menuju sebuah meja kecil. Diambilnya 2 buah gelas, lalu tampak sepertinya beliau sedang menyeduh teh. Seraya membawa kedua cangkir teh tersebut, beliau berjalan menuju sofaku, dan meletakan 1 cangkir teh tersebut di hadapanku.

"Minum lah Roi, hanya ada teh di sini, aku tidak begitu menyukai kopi. Mengenai pertanyaanmu tadi Roi, aku hanya ingin berbincang bincang dengan anak murid kesayanganku. Sepertinya mereka punya alasan tersendiri tidak menceritakan beberapa hal kepadamu, meskipun begitu aku rasa, dengan mereka mengirimkanmu kembali kemari, mereka pasti telah siap akan semuanya."

"Kembali? Aku tak pernah ingat pernah kemari sebelumnya.."

"Ya, kau pernah ke sekolah ini sebelumnya, saat kau masih berumur 9 tahun. Apa kau ingat betul kejadian sebelum kau berumur 9 tahun."

Mendengar hal tersebut mengingatkanku, bagaimana aku tak benar benar bisa mengingat kejadian sebelum aku berumur 9 tahun, yang kuingat hanya bayang bayang sekilas, dan semakin lama kupikirkan semakin terasa sakit pula kepalaku, oleh karena itu aku tak pernah mencoba mengingatnya lagi.

"Bagaimana ibu bisa tau akan hal itu?"

"Tentu saja, karena ibu mengingat benar akan kejadian hari itu."

Hari itu? Belum sempat aku mengungkapkannya, tiba tiba terdengar suara pintu terbuka.

(-cont)