Rasanya baru kemarin semester Overtime pertama berlangsung. Mengawali perkuliahan dengan rasa sesal akibat kegagalan di semester lalu, sepertinya menjadi sedikit motivasi yang cukup membantuku untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan tidak pernahnya aku absen dari perkuliahan. Dan ternyata semua mata kuliah yang aku gagal di waktu yang lalu itu, tidak sesulit yang dulu kurasakan. Ternyata memang dulu aku tidak pernah serius dalam belajar saja, makanya aku harus merasakan semester tambahan ini.
Nilai semester ini pun keluar, puji Tuhan, tidak ada mata kuliah yang gagal. Aku merasa sepertinya Tuhan benar-benar memberikan jalanNya. Meskipun aku sudah berusaha sekeras apapun, setiap kali ujian aku selalu merasa ada yang kurang, tapi ternyata kekhawatiranku itu tidak seperti yang kubayangkan. Setiap kali akan ujian dan selepas ujian, aku selalu menyempatkan diriku untuk berdoa di kerep. Aku selalu dapat menikmati setiap detik di kerep, menyerap segala ketenangannya, rasa damai selalu memenuhi pikiranku setiap kali ke sana. Menjalani hari-hari dengan kecemasan akan berbagai macam hal, akan masa depan yang tampaknya tidak begitu cerah. Aku selalu pergi ke kerep, dengan harapan agar pikiranku dapat tenang, dan aku dapat memikirkan suatu jalan keluar.
Aku pernah diberi tahu seorang sahabatku, jika berharap itu bukan strategi untuk maju. Tapi bagiku berharap itu memberikan suatu dorongan lebih untuk mencoba sekuat tenaga dan pikiran, ketika berbagai macam solusi dan strategi yang berada di pikiran terasa cukup sulit. Sepertinya semester kemarin merupakan fase di mana aku mulai benar-benar mengenal diriku sendiri. Di mana aku sudah mampu menerima peranku, mencintai segala kelebihan dan kekurangan yang kumiliki.
Aku pun menemukan sebuah filosopi hidup baru. Aku merasa hidup itu bagaikan selembar kertas besar. Tuhan memberikan kertas itu ketika kita lahir, namun Dia tak pernah meminta kita ataupun memberi tahu apa yang harus kita perbuat dengan kertas tersebut. Ketika kita lahir, kertas itu masih putih bersih, lalu perlahan orang tua kita mulai mengajari kita apa yang harus kita tulis dan gambar pada kertas itu. Ketika kita beranjak besar dan mulai pergi keluar, kita melihat ternyata banyak orang yang menggunakan kertas itu dengan caranya masing-masing, ada yang menuliskan puisi, cerita, syair, lagu, dan ada juga yang menggambarnya, melipatnya. Terkadang kita tergoda dengan kertas-kertas milik mereka, dan kita tak jarang mencoba meniru apa yang telah mereka lakukan. Hingga akhirnya tanpa kita sadari, kertas tersebut tak lagi putih, dan kau bingung apa yang akan kau lakukan selanjutnya, kau sadar kau bukan seorang penyair yang mampu menuliskan bait-bait, dan kau juga sadar kau bukan seorang pelukis yang mampu melukiskan keindahan,
Hingga akhirnya pada suatu titik, kau bingung, dan kau merasa malu, karena melihat kertas milik orang lain, yang tertata rapi, indah, yang bertuliskan bait-bait penegun hati. Dibandingkan dengan kertasmu yang bercampur aduk, dan berantakan. Tapi tidakkah kau ingat masih ada halaman belakang yang kosong? Coba kau balik kertas tersebut, lihatlah kertas tersebut masih kosong, kau bisa menyusun kembali, apa saja yang sudah kau lakukan di lembar sebelumnya, lihat lagi apa yang memang benar-benar ingin kau lakukan disitu. Lalu jika suatu saat kau salah lagi, ingatlah kau masih bisa menghapusnya, ya seperti itulah hidup bagiku, kertas itu adalah diriku, dengan menerima kertas itu, berarti aku menerima diriku sendiri, bisa membagikan apa yang sudah kulakukan dengan kertaskupun, cukup menyenangkan bagiku. Meskipun kertas itu sudah kucel karena banyak coretan, aku tidak akan membuangnya karena hidup hanya sekali. Biarlah orang lain dengan kertasnya sendiri, aku mencintai kertas ini, karena kertas ini sudah mengajariku banyak hal.