Sunday, 27 October 2013

Pecundang

Dinginnya malam ini tidak merisaukanku, langkah demi langkah aku berjalan menyusuri jalan ini. Petir dan guntur yang bersahut-sahutan malam itu seolah tak berarti. Tibalah aku di depan sebuah gang kecil, tak jauh dari situ terdapat sebuah rumah yang tampaknya sangat ramai. Aku mencuri pandang dari kejauhan, kulihat dirinya berdiri di teras di tengah kerumunan temanya dan temanku. Kuberanikan diriku untuk mendekat, namun belum sempat aku melangkah, kulihat lelaki itu berdiri di hadapannya, dan seketika itu juga dia berlutut dan berkata

"Would you be mine?" ujar lelaki tersebut sembari menawarkannya sebuah coklat berbentuk hati dan seikat bunga.

Melihat hal tersebut seketika rasa dingin yang hebat menyeruak disekujur tubuhku. Aku seperti baru saja melihat petir di depan mataku. Suara pecahan kaca menyadarkanku dari lamunanku. Tanpa kusadari aku menjatuhkan hadiah yang kusiapkan untuknya, sebuah sepatu dari kaca.


Sepertinya tak hanya diriku yang mendengar suara tersebut. Berpuluh pasang mata tiba-tiba menatap ke arahku. Tak kuat kumenahan rasa malu, aku berbalik dan berlari dari tempat itu. Pikiranku kalang kabut tidak karuan, hatiku rasanya seperti hadiah tadi. Hingga kusadari aku mendengar sebuah langkah kaki yang mengikutiku. 

"Berhenti.." teriak suara wanita yang kukenal itu. 

Aku hanya berdiam diri dan tak bergerak sedikitpun.

"Kenapa kau lari? Tak tahukah kau, aku menunggumu semenjak tadi." ucapnya lagi. 

Aku membalikan badanku, "Aku hanya ingin lari, tak ada yang lain."

"Lalu apa yang pecah tadi, kenapa kau tidak mengakui saja?" tanyanya dengan nada serius.

"Apa yang harus kuakui? Aku hanya malu karena sudah menjatuhkan hadiah ulang tahunmu, tak ada yang lain." Ujarku. 

"Bodoh, kenapa kamu gak mau mengakuinya, kalau kau memang menyukaiku." Ucapnya dengan nada lebih keras.

"Kau buta? Apa aku pernah memberikanmu sebaris puisi? Apa aku pernah memenuhi permitaanmu? Apa aku selalu ada untukmu? Apa aku pernah membuatmu nyaman? Apa aku pernah melakukan itu semua? Tidak kan! Darimana kau bisa berkata aku menyukaimu." jawabku dengan nada tegas.

Dia maju mendekat, "Aku bisa melihat dari semua ucapanmu, tindakanmu, terlebih lagi aku melihat semuanya dari matamu."

Mendengar hal itu, perasaanku dibuat kacau olehnya, otakku yang tak bisa berpikir jernih lagi, membuatku memalingkan badanku. 

"Aku mungkin memang pernah menyukaimu, tapi aku tersadar kalau aku tak pernah pantas untukmu, kembalilah padanya, dia yang bisa memberikan semua itu, tidak selayaknya kau berhujan-hujanan karenaku." setelah kuucapkan kalimat tersebut, kupaksakan diriku untuk berjalan menjauh.

"Kalau kau melangkahkan kakimu lebih jauh dari itu, itu artinya kau memang pecundang." kudengar suaranya dalam isak tangis.

Tapi hal itu tak membuatku menyurutkan niatku untuk menjauh, dengan langkah yang berat aku terpaksa menyeret kakiku.

"Kau memang pecundang." kudengar dia berteriak untuk yang terakhir kalinya. Aku sudah membuatnya cukup menderita, dan sebaiknya aku pergi menjauh darinya, biarlah dinginnya air hujan yang membasahi badanku malam ini dan gemuruh petir ini menemani perjalananku tanpa dirinya.

No comments:

Post a Comment