Sering berpegian keluar kota membuatku melihat banyak sekali wajah-wajah kehidupan, yang membuatku membuka mata dengan keadaan sekitarku. Jelas sekali tampak perbedaan antara kaya dan miskin di banyak tempat, hal ini terkadang terasa miris, setiap kali aku melintas jalanan yang dipenuhi oleh rumah-rumah megah, tapi tak lama berselang munculah gubuk-gubuk yang mereka bilang itu adalah rumah. Aku merasa tak berdaya, jika harus berpikir apa yang bisa kuperbuat untuk mereka, sementara hidupku sendiri pun masih seperti gubug reot yang perlu di tata ulang. Pasca era kegelapan dalam hidupku, aku masih berjalan tanpa arah, tak ada visi, misi, atau apapun yang bisa kujadikan pegangan. Cuman satu yang kupercaya dan kuyakini, kemanapun aku melangkah Dia selalu menyertaiku dan berusaha untuk menjauhkanku dari jalan yang pernah kulalui dulu. Mereka bilang dengan belajar, kita bisa membantu mereka yang kurang beruntung. Tapi apa yang kulihat saat ini adalah mereka yang sudah belajar dan menjadi pintar hanya mencari kesenangan bagi diri mereka sendiri. Setelah mereka mendapat apa yang mereka impikan mereka malah mencari hal yang lebih lagi. Apa yang dikatakan para motivator, tokoh masyarakat, semua terasa bullshit. Belajar saja tidak bisa menyelesaikan semuanya, manusia pada dasarnya tidak pernah lepas dari rasa rakus mereka, begitu juga diriku, tapi aku mencoba belajar untuk menguranginya. Mungkin aku yang dulu memang rakus, tapi aku sudah mempunyai kontrol diriku terhadap hal tersebut, cukup mengingat barang apa saja yang sudah kurusak, apa saja yang sudah kuhilangkan, apa yang sudah kucapai, dan seperti apa aku sekarang, sudah cukup membuatku untuk tetap menutup dompetku rapat-rapat. Lalu aku mengambil kesimpulan seperti ini, jika belajar saja tidak cukup lalu apa yang dibutuhkan? Tindakan nyata saja pun tidak akan pernah cukup, memberi sumbangan pun hanya seperti memberikan setetes air di tengah kehausan yang luar biasa, tapi aku tahu satu hal, semua yang sudah terjadi memang tak bisa kita hentikan, tapi kita bisa mencegah hal itu untuk terjadi lagi. Bagiku hal itu yang kurang dari semua orang yang udah ada sampai saat ini, mereka yang pintar selalu memberikan sumbangan dalam bentuk materi. Hal seperti itu tidak akan pernah cukup menghentikan laju kemiskinan, ilmu dan rohani, adalah 2 hal vital yang tak pernah diberikan oleh orang-orang pintar ini. Mungkin untuk mereka yang sudah tua yang sudah korup, materi adalah sesuatu yang mereka butuhkan karena mereka telah melihat segala kenikmatan orang lain yang mempunyai cukup materi. Tapi tidak dengan anak-anak, mereka tidak pernah peduli dengan hal itu, jika kita memberi mereka ilmu yang cukup, dan rohani yang baik mereka pasti dapat tumbuh dengan baik pula.
Bahkan dengan ilmu yang baik saja tidak akan cukup (berkaca pada diriku sendiri), sampai sekarang pun aku masih buta dengan agamaku sendiri. Memang aku dilahirkan dikeluarga Katolik yang kental, dan aku pun tahu Tuhan Yesus adalah sumber kekuatan dan penolongku yang setia. Tapi apa itu katolik sendiri aku masih belum tahu apa-apa. Makanya ketika aku pertama kali masuk Undip, dan aku melihat orang-orang muda berdiri dengan spanduk-spanduk dari kertas yang bertuliskan PRMK-FT dengan setengah rasa segan aku mencoba menghampiri mereka, awalnya aku agak canggung untuk menyapa mereka, tapi sambutan mereka ternyata sangat ramah, dengan senyuman spesial dari orang yang belakangan kutahu namanya mbak Gori, dan Mas Rio seolah menyambutku tanpa mempedulikan seperti apa aku kelihatannya waktu itu. Lalu aku juga dikenalkan dengan mereka yang ternyata menjadi sahabat-sahabat terbaikku saat ini Ladislaus Risangpajar dan Yulius Krisna, yah mereka adalah 2 sahabat terbaik pertamaku di sini. Satu hal yang kuingat ketika aku mengenal PRMK-FT, mereka bukanlah anak-anak seperti diriku, mereka adalah orang dewasa, yang mungkin bisa menjawab semua pertanyaan seputar katolik tadi. Aku diberi tahu jika PRMK-FT adalah sebuah biro pelayanan yang ada untuk melayani semua mahasiwa katolik yang ada di Undip ini. Aku belajar mengenai makna pelayanan yang sesungguh dari sini. Aku yang awalnya hanya tertarik untuk mencari nilai sebaik-baiknya karena terbawa arus untuk bisa membuat orang tuaku tersenyum karena selama ini aku sudah menyusahkan mereka, ternyata mulai memahami semua ini kulakukan untuk siapa? untuk diriku sendiri, untuk orang lain? Lalu aku tahu orang tuaku tak pernah menginginkanku untuk membuat mereka tersenyum, itu hanyalah sebuah ambisi pribadi yang kubuat karena traumaku akan masa lalu, yang mereka inginkan adalah aku bisa menjadi siapa diriku sebenarnya, bisa menjadi bagian dari lingkungan sosial yang keras dan tetap peduli dengan mereka yang kesusahan. Awalnya semangatku untuk menjadi berguna bagi orang lain sempat gugur karena musibah-musibah yang kualami selama di kota ini, aku pernah mengutuk tempat ini. Tapi seperti biasa Dia membuka mataku, melihatkan padaku apa yang kumiliki dan kubutuhkan, ternyata memang semua yang kubutuhkan ada di dekatku, logika dan perasaan, serta bantuan orang-orang yang ada disekitarku. Makanya kenapa aku harus menangisi sesuatu yang tidak kubutuhkan. Mungkin tangisku itu bukan karena aku sedih kehilangan hal tersebut, tapi karena aku sudah melalaikan tanggung jawab yang diberikan oleh orang tuaku padaku, aku tak peduli bahkan jika dengan kehilangan nyawaku aku bisa membahagiakan orang lain itu sudah cukup bagiku. Oleh karena itu, bagiku perasaan cinta dan hampa yang kurasakan selama ini menjadi motivasi bagiku, kalau dengan penderitaan dan sakit karena sendirian aku bisa berkembang, dan membantu mereka yang membutuhkan, berjalan dijalan berbatu yang tajam ini pun akan kulakukan, walau artinya sampai mati aku tetap sendirian, karena siapa pula yang mau diajak berjalan bersama dijalan seperti ini. Lalu belakangan ini aku selalu berpikir tentang pengakuan dosa, seperti yang sudah kubilang sebelumnya, selama ini untuk ke gereja itu seperti sebuah paksaan saja, tapi setelah tinggal sendirian di kota ini, aku merindukan saat ke gereja dengan keluargaku. Karena ke gereja saja sudah paksaan apalagi untuk melayani gereja, jadi misdinar aja gak pernah, ibadat dilingkungan juga gak pernah, pelayanan terakhir buat gereja (itu juga dipaksa) waktu koor kelas 5, aku bahkan ingat pernah dibilang kafir, tapi itu tak salah karena dulu aku memang seperti itu. Tapi sekarang ketika menjelang natal ke 2 di kota ini, aku diingatkan lagi oleh ibuku untuk mengaku dosa, aku bahkan sudah lupa apa rasanya mengaku dosa, apa tujuannya sementara terakhir kali aku mengaku dosa kelas 4 SD ketika penerimaan sakramen ekaristi. Apakah aku harus mengakui semua dosaku di depan pastur dari kelas 4 SD sampai sekarang, dan aku yakin jika itu kulakukan bisa makan waktu seharian. Aku mungkin punya seorang teman yang sifatnya bertolak belakang dari diriku, dia besar dalam lingkungan yang pelayanannya sangat kental sekali, ingin sekali saat ini aku bertanya padanya, tapi karena sebuah tindakan bodoh yang kulakukan, sepertinya kehadiranku malah menjadi pengganggu baginya. Aku memang bodoh, semua yang kulakukan selalu berakhir kesalahan, aku memang naif, tapi memang ada rasa yang berbeda jika bersamanya, tapi mengumbarnya memang sebuah kesalahan seharusnya rasa itu tetap kupendam saja. Apa bisa orang bodoh sepertiku menyelamatkan mereka yang membutuhkan.