"Parah ya situasi kali ini. Orang-orang jadi takut mau kemana-mana." Suaranya memecah kesepian sore itu, tangannya tidak berhenti mengusap-usapkan layar telepon genggamnya. Sesekali nampak ekspresinya berubah-ubah, dari terkejut, tertawa, heran, bahkan sedih. Pandangannya tidak pernah lepas dari layar telepon genggam tersebut. Sembari mulutnya tidak pernah berhenti memberi komentar akan hal yang dibacanya.
"Ya mau gimana lagi, belum ada obatnya, wajarkan orang takut." Jawabku
"Tapi kan ya gak harus separah gini juga gak sih? Kayak orang-orang tuh udah panik besok kiamat aja." Balasnya sambil menggerutu.
"Kamu gak takut apa?"
"Daripada takut, bisa dibilang khawatir sih. Kalau ibaratnya tuh, orang kepleset aja bisa mati. Tapi kalau kita hati-hati dan selalu menjaga diri kan, mudah-mudahan tetap selamat." Kali ini dia memalingkan pandangannya ke arahku, sepertinya dia yakin kalau setelah ini akan ada peraduan argumen antara aku dan dia. Kita memang sering berdebat akan banyak hal, dari yang penting sampe boring, dan ironisnya adalah jarang sekali kita mencapai suatu kesepakatan bersama, tapi disitulah serunya. Bagiku pandangannya dia adalah jendela baru dalam hidupku.
Aku pun memutuskan untuk duduk di sofa, karena secara naluri pun aku sadar ini tidak akan jadi pembicaraan yang sebentar. Langit yang temaram berselimut awan pekat, menitikkan bulir-bulir kehidupan membasahi jalanan Jakarta sore itu, seolah-olah mengiyakan pertarungan argumen kita sore itu, mungkin ditambah opening lagu The Eye of The Tiger sebagai intro, akan set the mood banget.
Pembahasan kami sore ini adalah virus yang sedang merebak di negara kami. Mulai dari apa penyebabnya, kenapa bisa meluas, respon pemerintah dan dunia seperti apa, sikap masyarakat bagaimana, hingga hal-hal yang berbau takhayul dan konspirasi juga ikut dalam perdebatan kami. Kadang kita bisa ngotot akan pendapat kita masing-masing, namun kami tidak pernah emosi, karena sejatinya kita sama-sama tahu. Kalau kita sesungguhnya iseng satu dengan yang lain, hanya untuk saling menebak argumen apa yang akan dikeluarkan sebagai balasan.
Tanpa kita sadari, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Alarm di jam tanganku berdering. Kami pun terhenti dari perdebatan kami.
"Yah, lihatkan, gara-gara kau ajak aku ngobrol, sudah jam tujuh, batal sudah aku pulang cepat." Sanggahku padanya menghentikan perdebatan sore itu.
"Kan aku gak minta buat ditanggepin, lagian kamu cowok manja amat harus pulang on time, mana debat sama cewek juga gak mau ngalah, kadang aku heran kamu ini cowok apa bukan." Balas dia.
"Cowok lah, perlu gw buktikan secara genetik di depan lu."
"Yee, dasar cowok mesum."
"Lah siapa coba yang mulai, nuduh-nuduh mesum, dah lah sama kamu ngobrol gak habis-habis, pikiranmu terlalu imajiner sampe dikuadrat dua juga gak bakal jadi nyata. Hujan udah reda nih ayo balik." Aku mulai merapikan peralatan kerjaku. Aku lihat dia masih kesulitan untuk meletakkan kembali Tupperwarenya ke dalam rak yang tinggi itu, aku ambil Tupperware itu dan kuletakkan langsung di lemari tersebut.
"Aku bisa sendiri tahu." Kulihat mukanya sedikit cemberut.
"Ini bocah, udah abstrak, pendek, belagu lagi, bukannya terima kasih, gw tinggalin dah." Aku mulai berjalan ke arah lift.
"Ehh, tunggu, jangan marah dong, kan bercanda." Jawabnya seraya berlari menyusul.
"Masa bodo.." Jawabku seraya mempercepat langkah kakiku.
Akhirnya kami berlarian sampai di depan lift. Lift kami ternyata masih sangat jauh.
"Eh, kamu tahu gak, naik lift itu pengalaman berharga buat aku." Sepertinya keluar lagi argumen barunya. Aku terdiam dan memperhatikan wajahnya dengan penasaran.
"Kok bisa? Di desamu gak pernah ada lift apa?" balasku.
"Yee, bukan begitu."
"Lantas?"
"Soalnya waktu pertama kali naik lift, it's raised me up." Jawabnya sembari tertawa puas.
"Dasar bocah, gw kira serius." Tak lama, lift yang akan kami gunakan tiba.
"Kamu gak takut apa, sama musibah yang terjadi belakangan ini, aku tadi belum sempet nanya, jadi penasaran." Tanyanya kepadaku.
"Tidak, selama virus ini gak bikin aku bego, aku gak takut, kecuali satu virus ini yang aku paling takutin, yang bener-bener bikin bego."
"Hah, apaan itu?" Dia mencondongkan wajahnya ke arahku, berharap aku bergegas menjawab kebingungannya tersebut.
"Virus cinta."