Siang ini langit mendung sekali, seperti biasa, aku dan Leo pulang sekolah bersama, biasanya kami akan pulang bertiga dengan Diana, tapi sepertinya dia ada latih tanding. Kami bertiga sudah berteman lama, sejak kami masih SMP. Leo cowok berbadan tinggi dan besar, dengan pandangannya yang selalu tampak tajam kepada orang asing, serta rambutnya yang urakan, kerap kali membuatnya dikira sebagai berandalan.
"Ayo Rei, jangan kau melamun terus, cepat kita bisa kehujanan di jalan." Leo memanggilku untuk bergegas naik ke bangku belakang sepedanya.
"Ya, sebentar, aku buka payungku terlebih dahulu."
Setelah aku naik, Leo segera memacu sepedanya dengan cepat. Ambarawa saat ini sedang sering sekali hujan dan nampaknya kami akan kehujanan di jalan.
"Rei, kita ambil jalan pintas lewat Kerep bagaimana?"
"Boleh saja, jika hujannya terlampau deras kita bisa mampir sejenak."
Jalanan menurun di Kerep membuat payungku terasa percuma. Aku meminta Leo untuk melambatkan laju sepedanya tapi dia tak merisaukanku. Hujan nampak semakin deras, dan kami pun berbelok sejenak ke dalam gua Maria Kerep.
Teringatlah aku akan kenangan kami bertiga saat masih kecil. Kami sangat senang bermain di tamannya. Sekarang kami lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdoa jika kemari.
Saat aku mengalihkan pandanganku ke arah patung Bunda Maria, aku melihat seorang perempuan sedang duduk di depannya. Penampilannya sangat aneh, dengan kaca mata besar, masker, dan rok panjang, namun aku melihat sepertinya dia hanya mengenakan jaket saja. Aku menghampirinya, benar saja, dia hanya menggunakan jaket kain, dia nampak terkejut saat melihatku menepuk pundaknya.
"Sudah kuduga, kau tidak memakai jaket hujan, ini kuberikan payungku, kau nampak sedang bersungguh-sungguh berdoa, mereka bilang, kalau kau berdoa dengan sungguh di sini, semua permohonaanmu akan terkabul." Aku tidak tega melihatnya yang sedang berdoa itu basah kuyup. Kuperhatikan dia hanya mengangguk saja, aku tak mampu melihat wajahnya dengan jelas yang tersembunyi dibalik masker. Badannya yang kecil, mungkin dia anak SMP, aku tak tahu apa yang diharapkannya, namun aku tak mau mengganggunya, akupun berpamitan padanya. "Aku tak tahu apa yang kau doakan, tapi percayalah, semua akan baik-baik saja, karena aku juga sering berdoa di sini." Aku segera kembali pada Leo yang sedari tadi memperhatikanku dengan penuh tanya.
"Apa yang kau lakukan Rei?"
"Tidak apa, aku hanya kasihan melihatnya, sepertinya dia sedang ada masalah, berdoa dengan sungguh di tengah hujan begini."
"Kau selalu saja begitu, Rei, lalu kita bagaimana, tidak ada payung lagi?"
"Kau idiot? Kau pikir payung tadi berguna jika kau bersepeda secepat itu. Sudahlah ayo kita trabas saja.
Kami segera kembali ke rumah dengan menerjang hujan. Sesampai di rumah seperti biasa ibuku, mengomeliku yang basah kuyup, dan beliau menanyakan ke mana payung yang dia berikan. Aku ceritakan padanya apa yang kualami tadi, meskipun sepertinya agak kesal, tetapi beliau memakluminya.
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah pagi benar. Aku ingin latihan pagi bersama tim basketku. Akhir pekan ini, kami akan bertanding melawan sekolah lain di Semarang.
Hari ini sangat cerah, membuatku semakin semangat untuk memulai hari. Sesampainya di gerbang sekolah, aku melihat Leo dan Diana sudah tiba, mereka melambaikan tangannya ke arahku, aku bergegas menghampiri mereka. Kami sudah sangat akrab sejak dulu, aku tidak ingin berpisah dari mereka, namun begitu ada satu hal yang selalu menggangguku. Rasa sukaku pada Diana. Hal ini hanya menjadi rahasiaku dan Leo saja, karena Leo mampu membaca pikiranku tanpa aku harus bercerita, dia selalu berkata, aku mudah ditebak dari raut wajahku saja. Tidak ada hal yang bisa kututupi darinya, mungkin karena kita telah lama bersama.
Pagi itu, latihan berjalan lancar, kerja sama tim kami semakin baik, kami yang masih junior pun mulai bisa menyatu dengan permainan dan strategi para senior. Aku sendiri merasa lay-up dan shooting ku semakin baik. Masih teringat jelas bagaimana pahitnya kekalahan di semifinal regional jawa tengah, saat aku kelas 3 SMP dahulu. Kala itu aku dan Leo benar-benar terpukul akan hal itu, karena masuk final adalah impian kita saat itu, namun Leo tetap tabah, dan berusaha menyemangatiku.
Selesai latihan pagi, kami kembali ke kelas, lalu tiba-tiba Leo menghampiri mejaku.
"Kau tahu Rei, aku dengar kabar, katanya ada anak baru." Kuperhatikan wajah Leo dengan seksama, sepertinya dia sendiri tidak yakin.
"Anak baru itu, laki-laki, atau perempuan?"
"Aku juga tidak tahu Rei, kalau laki-laki bagaimana kalau kita ajak dia ke tim basket?"
"Boleh juga, Leo, semakin banyak orang semakin baik."
"Ehem.. apa yang kalian bicarakan itu, seenaknya saja menentukan dia akan bergabung dengan kalian, jelas jelas dia pasti perempuan, akan kuajak dia bergabung dengan timku."
Diana tiba-tiba nimbrung dalam obrolan kami, sikapnya yang tidak mau kalah itu memang tidak pernah berubah dari dulu.
"Tidak tidak, aku tahu kalau ini pasti cowok.."
"Tidak Leo, dia pasti cewek.."
Terjadilah perang argumen antara dua orang ini.
"Kalian, sudahlah permasalahan seperti ini saja kalian ributkan pagi-pagi, tapi ucapan Diana ada benarnya juga, kita belum tahu pasti siapa murid baru ini." Perilaku mereka selalu saja mengundang rasa geli, aku tak tahan untuk tertawa melihat mereka.
"Kalau dengan Diana, kau pasti akan selalu berpihak padanya Rei, huh.." Aku terkejut mendengar ucapan Leo tersebut, aku berusaha menyembunyikan rasa maluku.
"Iyalah pasti, Rei dari dulu orangnya pengertian, gak kayak kamu Leo.." ucapan Diana tersebut seolah-olah memantik rasa yang ada dalam diriku.
"Tapi, apa kalian tidak merasa ada yang aneh, pindah di tengah-tengah semester begini?" Aku berusaha untuk mengubah arah pembicaraan.
"Entahlah, mungkin urusan keluarganya.." Leo nampak kebingungan.
"Kita tunggu saja, nanti juga kita tahu sendiri." Diana memberikan pendapatnya.
Bel tanda masukpun berbunyi. Kami mulai kembali ke tempat duduk kami masing-masing. Wali kelas kami ibu Fani masuk ke dalam kelas. Beliau mulai mengabsen nama kami satu per satu.
"Bagus, sepertinya semuanya hadir hari ini. Mungkin ini jadi awal yang bagus untuk perkenalan."
Beliau berkata sambil tersenyum. Namun perkenalan yang dimaksud, jangan-jangan murid baru itu. Ibu Fani berjalan keluar kelas, beliau mempersilahkan seseorang untuk masuk. Seisi ruangan tampak terpaku ke arah pintu kelas. Nampaklah seorang cewek dengan rok panjang, baju berlengan panjang, sarung tangan dan masker yang menutupi wajahnya, tak lupa juga kacamata besar, badannya yang kecil, rambut sebahu yang urakan, membuatnya nampak seperti cewek yang kemarin kutemui di Kerep.
Aku tak mampu menahan rasa terkejutku, "Kamu, cewek patung itu.." tanpa sadar aku berteriak, dan hal itu disambut tawa oleh teman sekelasku. Mereka mengira aku memberikan julukan padanya, padahal bukan itu maksudku. Aku melihat dia hanya tersenyum saja.
"Rei tolong berikan waktu untuk dia memperkenalkan diri." Bu Fani mengingatkanku. Aku meminta maaf dan mulai duduk kembali.
"Terima kasih atas waktunya, perkenalkan aku Malena Candra, kalian bisa memanggilku Lena, ayahku bernama Malena Tri, dan Ibuku Elisa Ayu. Aku seperti anak lainnya, jalan waktu umur 1 tahun berbicara umur 2 tahun. Waktu umur 3 tahun, tanganku pernah patah karena jatuh dari tangga, dan meskipun aku pernah kena bermacam-macam penyakit, aku bisa melewati semuanya hingga SMA. Moto hidupku, jangan kenal siapapun, jangan mencolok, dan tetap menyendiri. Aku tidak pernah ikut kegiatan apapun dan aku berharap semuanya itu tetap berjalan di SMA ini. Terima kasih." Dia memperkenalkan dirinya dengan unik sekali, aku sampai tidak percaya dengan apa yang kudengar.
Jam istirahat siang tiba, kami bertiga sembunyi-sembunyi pergi ke gor basket sekolah kami. Seperti biasa setelah makan siang kami menghabiskan waktu bermain basket.
"Lihat, murid barunya cewekkan, itu artinya, aku menang taruhan, dan kalian harus mentraktirku." Aku tidak pernah tahu tentang taruhan itu, dan saat melihat Leo, dia hanya tersenyum senyum saja. Sepertinya ini memang ulahnya.
"Tapi diakan bilang, dia tidak pernah ikut kegiatan klub apapun, jadi tidak bisa dijadikan taruhan." Aku mencoba mengelak.
"Kau jahat Rei, kukira kamu ini cowok baik-baik lho, janji gak ditepati, sampai-sampai ngejekin anak baru pula." Diana nampak mengolok olokku.
"Sudah, biarkan saja, nanti kamu makan sama Diana saja, kan asik tuh makan berdua.." Leo menggodaku, dan aku membalasnya dengan melempar bola agak keras ke arahnya, namun bola tersebut lepas dari tangannya dan berbelok keluar arena. Aku bergegas mengejar bola tersebut, karena jika sampai ketahuan guru, kita bisa dihukum. Bola itu meluncur sangat cepat, saat aku melompat hendak menangkapnya, tiba-tiba Lena lewat di depanku, kami bertabrakan, dia terjatuh dan tak bergerak.
"Ada apa Rei, apa kau baik-baik saja?" Leo datang berlari dari dalam arena.
"Iya, aku baik baik saja, tapi Lena sepertinya pingsan."
"Lena? Owh anak baru itu ya, bagaimana, apa kita bawa ke UKS?"
"Sepertinya dia hanya kepanasan.." Diana lalu menggulung lengan baju Lena, membuka masker dan kacamatanya. "Cepat kalian angkat dia ke dalam gor, aku akan mencari handuk basah dan air minum." Diana bergegas berlari ke kelas. Aku dan Leo memindahkan Lena ke dalam ruangan.
"Jika ada orang lain yang melihat kita, mereka bisa berpikir yang tidak-tidak."
"Untunglah tidak ada siapa-siapa Rei, tapi tak kusangka, kita bertemu dia lagi secepat ini, kukira dia masih SMP kemarin ternyata seumuran kita. Hahaha.."
"Aku juga berpikiran seperti itu, namun entah kenapa dari kemarin nampaknya dia selalu berpakaian seperti ini, apa dia tidak kepanasan?"
Tak lama Diana tiba. Setelah kami mengkompres kepalanya, perlahan matanya terbuka. Aku bergegas mengangkat kepalanya dan mulai memanggil manggil namanya. Tiba-tiba dia menjadi panik, lalu mencari cari sarung tangan, masker dan kacamatanya.
"Maaf dan terima kasih.." Lena lalu berlari dari gor.
"Apa yang barusan terjadi.." Diana nampak kebingungan.
"Aku tak tahu kenapa, tapi aku harus minta maaf ke dia, kalian berdua kembali saja duluan ke kelas." Akupun bergegas mengejar Lena.
Nampak sekilas Lena memang seperti orang yang tidak pernah berolahraga, namun siapa yang kira dia cukup cepat dan gesit, hal ini membuatku berpikiran sepertinya dia selalu berusaha menghindar dari orang lain. Setelah cukup lama berkeliling sekolah mengejarnya, aku berhasil meraih tangannya.
"Lenaa!!" Aku berteriak padanya, dan dia menghentikan larinya, aku mencoba mengatur nafasku kembali, "Apakah permohonanmu kemarin terkabul?" Dia nampak kesulitan untuk berbicara. "Kenapa tidak lebih baik kau lepas saja masker tersebut?" Aku masih terheran dengan cara berpakaiannya.
"Haah.. nampaknya aku sudah mengingkari janjiku dengan Bunda Maria.."
"Kau tidak mengingatku? Aku yang kemarin di Kerep saat kamu sedang berdoa. Apa kau baik-baik saja? Aku mau minta maaf karena tadi sudah memanggilmu dengan sebutan yang aneh di kelas tadi." Aku mencoba meminta maaf kepadanya.
"Haah, tidak apa, panggilanmu tadi itu tidak lebih buruk dari panggilanku sebelumnya, bahkan kehadiranku tak pernah dianggap, ya, aku berterima kasih karena kau memanggilku terlebih dahulu, tapi, sepertinya permohonanku sudah gagal."
"Hah?" Aku masih mencoba menangkap apa yang dia maksudkan.
"Ya setiap kali aku pindah, aku selalu mengunjungi gereja terdekat untuk berdoa dan memohon dengan sungguh-sungguh dari hatiku yang terdalam, tetapi tak pernah permohonanku sekalipun terkabul, ya, mungkin ini memang kutukan, karena aku sendiri tak pernah percaya kalau hal itu akan terwujud."
Tak aku duga sebelumnya, ternyata dia sudah sering berpindah sekolah. Apa hal itu yang selalu menjadi beban pikirannya? Kalau begitu, mungkin permohonannya tersebut adalah mempunyai teman bukan? "Kau tahu Lena, aku mungkin tidak pernah berpindah sekolah sepertimu, namun aku juga selalu berdoa di Kerep seperti kamu kemarin setiap kali aku mendapat masalah, dan aku sudah bilang bukan, Kerep itu tempat yang ajaib, sebagai orang yang berdoa di tempat yang sama, aku percaya, doamu pasti terwujud." Kataku padanya dengan penuh senyum dan kesungguhan hati. Lena hanya terdiam, dan tiba-tiba ia berlari. Bel tanda istirahat selesai berbunyi, aku kembali ke dalam kelas.
Sebuah tangan besar merangkul dan menariku dari belakang. "Jadi bagaimana Rei, apakah Lena baik-baik saja?"
"Sepertinya begitu.."
"Kau ini, sukanya kepo mulu sih.."
"Apaan dah?"
"Bercanda-bercanda, perhatian memang salah satu kelebihanmu." *Aku tak pernah menyangka, Rei tertarik dengan cewek seperti Lena.*
"Gembel, jangan bicara yang aneh-aneh."
"Hah? Aku barusan memujimu lho."
"Leo, kamu belajar ventriloquism?"
"Apa pula itu??"
Aneh sekali, aku seperti mendengar ucapan Leo di kepalaku. Apa mungkin aku yang salah dengar? Ah sudahlah, pelajaran sudah akan di mulai.
Hari ini aku langsung pulang ke rumah, Leo sedang ada kerjaan di rumahnya, dan Diana ingin nongkrong dulu dengan temannya. Lagipula besok ada kuis, aku mau langsung pulang dan belajar.
Malam itu, aku belajar sembari mendengarkan musik favoritku, hingga akhirnya seseorang menutup mataku dengan kedua tangannya.
"Tumben serius belajarnya mas?"
Ternyata adikku Shelia datang masuk ke dalam kamarku. "Sudah kubilang berapa kali Shel, ketuk pintu sebelum masuk."
"Aku sudah ketuk pintu berkali-kali tapi mas gak nyahut, yaudah aku masuk aja."
Mungkin aku terlalu berkonsentrasi dan musik yang kuputar terlalu keras, "Ya udah kamu mau apa?"
"Besok temen-temenku mau main ke rumah, aku pinjem kamar kakak buat main game ya?"
"Hah? Kenapa harus ke kamarku, kau tahu besok aku ada latihan, dan pulangnya aku ingin langsung tidur." Aku menolaknya.
Shelia langsung menggenggam kedua tanganku, kebiasaannya dari dulu jika ingin meminta sesuatu. "Ayolah mas, sekali sekali buat adekmu seneng, kamar mas kan lebih besar dari kamarku." *Aku bisa sekalian pamer, kalau aku punya mas yang ganteng dan jago main basket.*
"Hah? Terima kasih Shel, aku tak pernah menyangka, kamu menganggap mas seperti itu, tapi mas gak yakin kalau teman-temanmu nge fans sama aku."
Shela terdiam membisu, raut wajahnya berubah menjadi panik seketika. Dia lalu keluar kamarku. "Hah, mas bilang apa?"
"Bukannya kamu sendiri yang barusan bilang, kamu mau pamer ke temenmu kalau punya mas yang jago basket?"
"Ibuu.. anak cowokmu jadi aneh.." Shelia berlari keluar kamarku seraya menutupi wajahnya dengan bantalku. Aku masih terheran dengan kejadian barusan, ternyata tidak hanya saat dengan Leo, tapi Shelia juga. Aku seperti mendengar dua buah suara. Semuanya terjadi saat tanganku bersentuhan dengan mereka.