Tibalah, kami di depan kamarku, orang tuaku tampak sedang berbincang dengan orang tua lain dari temen sekamarku. Aku meminta Silvana untuk menunggu di luar, dan masuk memanggil kedua orang tuaku.
"Yah, bu, itu temanku yang ingin bertemu dengan bapak dan ibu sudah menunggu di luar."
Ayah ibuku lalu melirik ke arahku, "Ah, baiklah, kami segera ke sana." jawab ayahku seraya berpamitan dengan orang tua yang lain. Aku mengarahkan kedua orang tuaku ke arah kursi tunggu depan kamarku, di mana Silvana tengah duduk di sana. Dapat jelas kulihat matanya berbinar-binar menyaksikan kedatangan kedua orang tuaku. Seketika itu juga dia beranjak dari kursinya dan menghampiri kami.
"Selamat sore, om dan tante, perkenalkan aku Silvana, tak kusangka, aku bisa bertemu dengan pahlawan idolaku." Silvana tampak girang sekali dapat menyapa kedua orang tuaku, namun pahlawan? Ucapannya sedikit terdengar mengada-ada.
"Hahaha, bisa saja Silvana, kami ini cuma orang tua pegawai pemerintahan yang sudah sibuk bekerja di belakang meja." jawab Ayahku.
"Bisa juga kau Roi, belum genap satu hari di sekolah ini, kau sudah dapat berkenalan dengan gadis secantik dia." kulihat ibuku tertawa geli sembari menggodaku.
"Sebentar, kau bilang, pahlawan Sil? Pahlawan apa?" tanyaku seraya merisaukan godaan ibuku.
Mendengar pertanyaanku Silvana tampak bingung. "Kau tak ingat peristiwa besar pernah terjadi di sekolah ini 5 tahun yang lalu?"
Aku tak paham sama sekali apa maksudnya, namun aku dapat melihat dengan jelas raut wajah terkejut dari kedua orang tuaku. "Peristiwa apa itu Sil?"
"Peristiwa di mana..." Belum selesai Silvana menjawab, tiba-tiba ibuku menggenggam tangannya, dan itu mengejutkan Silvana.
"Bagaimana, kalau kita mengobrol berdua dulu di sana." ibuku menunjuk sebuah bangku yang ada di ruang tunggu asrama. "Biar kami para wanita berbicara masalah wanita, oke? Ayo Sil.."
Silvana hanya mengangguk dan mengikuti ibuku. Aku masih tak paham apa yang terjadi, aku melihat ke arah ayahku. "Apa yang sebenarnya terjadi yah?"
Ayahku memandangku dengan tatapan serius dan terkesan hati-hati, "Apa pendapatmu tentang sekolah ini?" Beliau berbalik bertanya padaku. Aku sendiri bingung harus menjawab apa, tapi tak kusangka kepala sekolah di sini terlihat sangat muda, dan mampu bertelepati.
"Aku, belum bisa menilai banyak, namun kulihat di ruang kepala sekolah terdapat foto, kakek dengan kepala sekolah di sana, dan sepertinya beliau mengetahui banyak hal tentang diriku, ditambah lagi, sepertinya dia mempunyai kemampuan untuk membaca pikiran seseorang, menurutku cukup aneh." jawabku mencoba menyimpulkan.
"Ya, keluarga kita mempunyai sejarah yang cukup kental di sekolah ini, dan mengenai kemampuan Bu Eli, percayalah, dia tidak sendiri. Semua yang kau lihat baru awalnya, dan ada waktunya di mana kau perlahan akan mengetahuinya tapi tidak sekarang, tidak untuk saat ini, ayah ingin kau bisa menikmati waktu sekolahmu dengan anak-anak yang lain." ucapan tersebut meresap cukup dalam di pikiranku, Bu Eli tidak sendiri, baru awalnya, sungguh tak banyak yang kupahami, serta pertanyaan awalku belum terjawab, mengenai peristiwa 5 tahun yang lalu, jika peristiwa itu terjadi 5 tahun yang lalu, mungkin peristiwa itu terjadi sebelum aku kehilangan ingatanku. Entah mengapa, aku tak pernah bisa mengingat masa kecilku, kepalaku terlalu sakit setiap kali mencoba mengingatnya.
"Yah, Silvana ingin mendapatkan tanda tanganmu." tiba-tiba ibu dan Silvana datang.
"Owh begitu, di mana aku harus meletakan tanda tanganku?" Silvana maju seraya menyodorkan sebuah buku, nampaknya seperti buku harian. Ayahkupun membubuhkan tanda tangannya di sana.
"Terima kasih banyak om tante, sudah mau memberikan tanda tangannya." Silvana tampak tersenyum puas.
"Kalau begitu, kami sekalian ijin pamit dahulu, hari sebentar lagi malam, kami titip anak kami ini padamu Sil, biarpun dia sok kuat, tapi dia sering ceroboh." Ibuku menggodaku lagi. Aku hanya menimpalinya dengan senyum kecut. Dalam benakku masih terbayang kejadian apa yang sebenarnya terjadi. Aku dan Silvana mengantar kedua orang tuaku hingga gerbang asrama.
"Baiklah kami pulang dulu, jaga kesehatan diri kalian, dan belajar yang baik, serta Silvana, jika bertemu orang tuamu, sampaikan salam kami pada mereka."
"Baik om, nanti saya sampaikan, hati-hati di jalan."
Kedua orang tuaku mulai pergi menjauh ke arah area parkir sekolah, sore itu merupakan waktu terakhir bagi orang tua kami untuk berkunjung hingga libur semester nanti. Sungguh akan menjadi waktu sekolah yang panjang, serta nampaknya cukup banyak misteri yang membuatku bertanya-tanya. Aku sebenarnya ingin bertanya pada Silvana, tapi aku ragu dia akan memberiku jawaban yang aku cari.
"Ayo kita kembali ke dalam." Silvana menyadarkanku dari pikiranku.
"Ayo.." balasku
Kami berjalan bersama hingga tiba di ruang tamu asrama, di sana kami berpisah, karena lokasi kamar cowok dan cewek yang bersebrangan.
"Tenang Roy, jika ada apa-apa aku siap membantumu."
Secara tiba-tiba Silvana membisikan hal tersebut, dan kulihat dia tersenyum sembari melambaikan tangannya. Tambah lagi pula teka-teki ini. Setibanya dalam kamar, tampaknya teman-temanku sedang sibuk merapikan lemarinya, adapula yang sedang mandi. Aku memutuskan untuk langsung tertidur, kejadian hari ini membuatku sangat lelah.
(-cont)