Friday, 29 September 2017

Kitab Suci (Catatan pribadi sebelum tidur)

Jadi, entah kenapa, aku kepikiran tentang banyaknya orang yang berduyun-duyun untuk menghadiri sebuah pembahasan kitab suci. Banyak orang yang merasa, dengan mendatangi acara tersebut, akan membantu minat mereka dalam membaca kitab suci dan mempelajari isinya. Tidak salah memang, karena memang, karena otak kita memang terprogram untuk menyenangi orang yang sepemikiran dengan kita. Mereka biasanya datang memang tidak kosong, karena mereka sebenarnya mencari pembenaran atas pemahaman mereka.

Aku sendiri bukan tipe orang yang rajin membaca kitab suci, khususnya alkitab karena saya beragama katolik. Bukan karena tidak menyenangi isinya, tetapi karena buat saya, kitab suci adalah sebuah bentuk pengimanan. Tidak perlu menurut saya, untuk membaca alkitab sepanjang waktu. Tetapi ketika saya memang butuh untuk membacanya, saya baca dengan iman yang sungguh. Bisa saya menghabiskan waktu seharian hanya untuk memahami apa maksud Tuhan melalui firmannya tersebut kepada saya. Dengan merefleksikan firman tersebut terhadap kondisi di lingkungan sekitar saya. Dari situlah iman saya tumbuh, karena saya tahu apa yang sebenarnya Tuhan kehendaki terjadi pada saya, dan itulah kebanaran Tuhan terhadap iman saya.

Hal itu berbeda jika kita mendengarkan maksud dan firman itu dari orang lain. Karena itu artinya, engkau mempelajarinya tanpa adanya pengimanan kepada Tuhan. Meskipun ayat yang dibaca sama, tetapi penyampaian Tuhan kepada masing-masing kita jelas berbeda. Karena itu, daripada anda berusaha untuk mempelajari maksud dari sabda tersebut, alangkah lebih baik jika anda mempertanyakan iman anda terlebih dahulu. Siapkah untuk mendengarkan sabdanya? Jika siap, bukalah kitab suci tersebut, imanilah setiap sabdanya, maka percayalah kamu akan menemukan maksud yang ingin Ia sampaikan kepadamu di dalamnya. Hal seperti ini biasanya membuat kenapa terkadang khotbah romo terdengar membosankan, karena pengalaman dan pengimanan seorang romo terhadap sabda itu tidak sama dengan umatnya dan umatnya sendiri yang belum siap untuk mengimani itu semua.

Tuesday, 19 September 2017

Aku dan Ayahku

Sejarah berulang, mungkin itu gambaran yang pas, yang menghubungkan aku dan ayahku. Sama sama pernah mengenyam pendidikan dasar negeri dan swasta katolik, mengenyam pendidikan kesarjanaan di bidang ketenaga listrikan di kampus yang sama pula.

Selama aku kuliah aku tak pernah mengetahui dimana ayahku melakukan kerja prakteknya, hingga kemarin aku membersihkan rak rak buku yang berisi buku buku lama yang sudah usang. Aku menemukan sebuah buku berjilid sedikit tebal, dengan judul yang menarik. Ya, itu laporan kerja praktek ayahku.

Ternyata dahulu beliau melakukan kerja praktik di Dan Liris, sebuah perusahan tekstil di Solo, di kota tempat beliau tumbuh besar. Tanpa kusadari, semesta bekerja dengan uniknya. Ketika aku kuliah, aku pun melakukan kerja praktekku di South Pacific Viscose, yang juga sebuah perusahan yang bekerja di bidang tekstil khususnya pembuatan serat fiber viscose, yang berada di kota tempatku tumbuh besar, Purwakarta.

Perlahan, kubuka laporan yang sudah usang dimakan waktu. Kertas-kertasnya yang mulai kaku dan menguning namun masih menampakan tulisan-tulisannya dengan sangat jelas. Saat kubuka lembar kata pengantar, banyak sekali bekas tipe-x di sana, geli rasanya melihatnya, seorang ayah yang kuidolakan itu, yang kata orang pandainya selangit, kata pengantar saja revisinya banyak sekali.

Masuk sudah aku ke dalam bagian isi. Tampak di sana gambar-gambar yang masih di gambar dengan tangan. Jelas saja, karena AutoCad belum ada saat itu, namun gambaran itu tak kalah baik dengan gambaran AutoCad sekarang. Sungguh luar biasa dosen dan mahasiswa kala itu, belum ada komputer hanya ada mesin ketik, namun sudah bisa membuat laporan serapih ini.

Kudapati pula dasar teori yang sepertinya tak lekang oleh zaman. Rumus rumus yang tak berubah dan nama-nama yang tak asing macam Nagrath, Arismunandar, dan William Stevenson. Penjelasan mengenai mesin spinning, dan spinbath, yang merupakan mesin primary di bidang textil yang juga prinsipnya tidak berubah. Tidak seperti manusia, di mana pemahaman, rumusan dan prinsipnya yang selalu berubah sepanjang hidupnya. Ilmu itu tetap sama dan abadi.

Selesai membaca laporan tersebut, tak dapat kubayangkan kehidupan mahasiswa zaman itu. Sekali teringat, aku mengeluh padanya tentang kaderisasi jurusanku yang tak kunjung usai, tentang dosen yang tak pernah hadir. Jawaban yang terlontar dari mulutnya selalu lah sama. "Koe ki lanang, nek lanang ojo kakehan sambat, lakoni wae, zamanmu ki wes penak." dari laporan ini bisa kubayangkan betapa sulitnya zaman ayahku, salah sedikit harus di tipe-x, diatur-atur mesin ketiknya agar pas, pasti bukan pekerjaan mudah.

Sekarang kehidupan mahasiswa itu sudah lepas dari diriku maupun ayahku. Namun rasanya masih sulit bagiku untuk move on dari status tersebut. Aku masih mau belajar lebih banyak lagi. Ada banyak hal yang mungkin aku sesali selama bermahasiswa, namun penyesalan tak akan pernah memuaskan kepalaku akan ilmu baru.

Aku berencana untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari ayahku. Sekolah kejenjang yang lebih tinggi lagi. Mencoba menyelesaikan semua yang telah digariskan dari awal. Ada hal yang berbeda dari diriku dan ayahku, ketika lulus, ayahku sudah berpacaran dengan ibuku. Hal itu yang mungkin membuat prioritasnya berubah, mimpinya tak lagi lebih penting dari kehidupan keluarganya. Sementara aku tidak, aku masih sendiri, artinya tidak ada yang menghalangi antara diriku dan mimpiku. Percaya atau tidak, aku selalu merasa pernikahan itu termasuk hal yang membatasi mimpi kita.

Sekarang tinggal bagaimana aku bisa disiplin terhadap hal-hal yang sudah kurencankan. Mencoba menyelesaikan semua sebaik baiknya. Berdoa agar semua rencana tersebut dapat berjalan, baik rencana inti maupun cadangannya.