Entahlah apa yang membawaku kemari, ditengah waktu senggang selama UAS aku memanfaatkan waktu kosong ini untuk sejenak melupakan semua pikiran. Berangkat pukul setengah sebelas malam aku bersama ketujuh temanku memulai perjalanan panjang menuju dieng. Bermodal petunjuk arah dari GPS dan masukan dari teman-teman yang pernah ke sana sebelumnya kami melaju.
Kupacu byson merahku dengan kecepatan sewajarnya, kami mengambil rute melalui bandungan. Baru saja kami tiba di bandungan hawa dingin yang menusuk badan langsung kami rasakan. Bermodalkan sweater berlapis jaket aku menembus dinginnya malam itu. Tak berapa lama kabut tebal menyelimuti perjalanan kami, dan lampu HID ku ternyata cukup membuat repot karena cahayanya yang memantul. Tapi selepasnya kami dari kabut jalanan gelap tanpa penerangan lampu HID ku cukup membantu.
Sepanjang perjalanan pikiranku tak pernah berhenti memikirkan pemandangan macam apa yang akan kutemui di sana nanti. Setelah cukup lama berkendara rasa lelah dan dingin yang sampai membuat tanganku mati rasa, membuat kami memutuskan beristirahat di sebuah indomaret arah temanggung. Menumpang kamar mandi dan membeli beberapa snack untuk sedikit mengganjal perut dan menghangtkan badan.
Setelah merasa cukup beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini kami melewati jalanan yang cukup unik, karena bukannya menunjukan jalan ke arah temanggung tetapi kami dilewatkan melalui perkampungan, sawah, dan perkebunan. Tanpa kusadari ternyata lampu belakang motorku ternyata mati, dan itu cukup membuat repot teman-temanku yang lain. Akhirnya setelah kurang lebih jam menunjukan pukul setengah 3 pagi, kami tiba di wonosobo melewati jalur wisata perkebunan teh. Setidaknya kami sudah menemukan jalan utama ke arah dieng.
Setibanya di daerah dieng, kami mulai mengkhawatirkan bensin pada motor rakha dan juan, karena saat itu tidak ada pom bensin yang buka. Akhirnya kami beristirahat di basecamp pendakian gunung prau. Di sana kami bertemu penduduk lokal dan berbagi api unggun dengan mereka. Kami mendapat kabar kalau pada pukul tiga pagi nanti akan ada penjual bensin eceran yang buka. Akhirnya kami memutuskan menunggu hingga jam tiga, tapi sayang penantian kami tak membuahkan hasil, karena hingga pukul setengah empat tak ada satu pedangan bensin eceran yang berjualan. Karena takut ketinggalan matahari kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
Mulai dari sini kami mulai mengandalkan ingatanku ke arah Geodipa, karena menurut pemberitahuan dari temanku di elektro yang pernah kemari tempatnya tidak jauh dari Geodipa, aku sendiri sebelumnya pernah mengunjungi Geo Dipa dalam rangka kunjungan kuliah. Yang jelas yang pertama kami harus lewati adalah danau tiga warna, bermodalkan pada ingatanku yang berkabut, dan sedikit insting, akhirnya kami tiba di GeoDipa, di sana kami menemukan sumber kehangatan yaitu pipa yang berisi uap panas. Rasanya hangat sekali memeluk pipa tersebut, tapi aku tak pernah membayangkan bagaimana rasanya saat menyentuhnya pada siang hari. Setelah puas menikmati hangatnya pipa tersebut, kami melanjutkan perjalanan yang tinggal sedikit lagi. Kali ini kami kembali melewati jalanan berbatu lagi, namun karena alarm alamiku sudah berdering aku memacu motorku sedikit cepat. Akhirnya tak berapa lama aku menemukan sebuah masjid, untuk kali ini aku bersyukur adanya masjid. Dan tak berapa lama dari situ kami tiba di tempat parkir sikunir.
Di sini beberapa rekanku membeli oleh-oleh kupluk, dan sarung tangan. Mulai dari sini perjalanan kami dilakukan berjalan kaki, karena jam sudah menunjukan pukul empat pagi kami memulai perjalanan kami. Sangat disayangkan kami lupa untuk membawa senter karena ternyata jalannya sangat gelap, tapi beruntung bagi kami, karena saat ini handphone sudah ada flashnya. Ternyata jalan menuju puncak sikunir tidak semudah pada punthuk setumbu, selain medannya yang lumayan licin, jalan menanjaknya juga lumayan terjal, sehingga mengingatkanku pada pendakianku di lawu dulu. Setelah setengah jam perjalanan kami akhirnya tiba di puncak. Dari sana kami dapat melihat lampu-lampu warga dieng yang perlahan mulai padam menunjukan bahwa hari mulai pagi. Awalnya cuaca sangat cerah sehingga aku berpikir, akhirnya aku dapat menyambut matahari, tapi ternyata aku melihat dari depan dan belakangku kabut mulai menyerang. Dan benar saja sejak pukul lima pagi sampai pukul tujuh matahari tak kunjung terlihat dan kabut tampaknya juga enggan pergi. Akhirnya hanya rasa dingin dan pandangan putih keberbagai arah.
Memang awalnya aku kecewa sekali, aku hanya bisa terdiam dan mencoba menikmati apa yang ada, namun ternyata hal tersebut tak lama. Karena aku tersadar melihat matahari terbit itu hanya bonusnya, setidaknya aku tidak sendirian mencapai tempat ini, aku bersama teman-temanku Feto, Rakha, Geraldo, Lamdo, Juan, Tommy, dan Salah seorang teman Arda. Kami senang kami dapat berkumpul bersama, mencoba menghibur diri dengan segala yang ada. Feto menganggap dirinya berada di Mahameru, foto telanjang dada bersama sampai menjadi tontonan orang. Rasanya memang mengasyikan sekali, hingga akhirnya tak terasa kabut mulai menipis, dan kita memutuskan untuk turun.
Awalnya kami ingin mampir ke telaga warna namun karena kabut masih saja menghalangi, akhirnya kami putuskan untuk kembali ke semarang. Kami memutuskan kembali melewati jalan utama saja. Akhirnya matahari tampak jelas dan kabut mulai menghilang, kami disambut pemandangan elok nan asri dataran tinggi Dieng, kamipun berhenti sejenak dan coba mengabadikan pemandangan indah tersebut. Setelah puas kami melanjutkan perjalanan tak lebih dari tiga jam hingga akhirnya kami kembali ke beskem tercinta.
Pada perjalanan kali ini aku belajar, kalau terkadang gak yang semua kita harapkan selalu sesuai harapan, semuanya kembali ke bagaimana kita melihat semuanya. Aku selalu percaya ada sisi baik dari setiap kerja keras yang kita lakukan. Pengalaman, kebersamaan, dan hati yang gembira aku rasa sudah cukup setimpal dengan apa yang kita lakukan. Masalah matahari terbit masih ada hari esok, itulah mungkin alasan kenapa rasanya umur kita tak akan pernah cukup untuk dapat menikmati segala kekayaan panorama ibu pertiwi ini. Saya Alva ini cerita saya tentang touring Mengejar Matahari.